Akuntabilitas, Jauh Panggang dari Api

Menandai terbitnya edisi perdana Jurnal Akuntabilitas, pada Senin, 3 Desember 2012, Konsil LSM Indonesia mengadakan Breakfast Meeting launching Jurnal Akuntabilitas. Acara launching berlangsung di Ballroom Hotel Akmani, Jakarta. Hadir dalam acara launching ini, komunitas LSM Indonesia dan perusahaan pengelola program corporate social responsibility.

Jurnal Akuntabilitas adalah jurnal pertama di Indonesia mengenai akuntabilitas organisasi masyarakat sipil (OMS). Mohammad Firdaus, Deputi Sekretaris Nasional ASPPUK Jakarta bertindak sebagai moderator dalam launching ini, menyampaikan dalam pengantarnya, bahwa di satu sisi, “Peran masyarakat sipil masih diharapkan, namun LSM masih susah sekali untuk berbuat akuntabel.” Ditengarai oleh Firdaus, ada sejumlah LSM yang aware tentang akuntabilitas, tetapi resistensinya masih tinggi. Karena itulah, diharapkan agar, “Jurnal Akuntabilitas yang diterbitkan oleh Konsil LSM Indonesia ini menjadi media diskusi tentang akuntabilitas LSM.”

Sebagai pengulas Jurnal Akuntabilitas, Titik Hartini, Direktur Association for Community Empowerment (ACE) menyampaikan bahwa di dalam komunitas LSM, “Kata akuntabilitas sudah digunakan bertahun-tahun lalu, namun dalam kesehariannya jauh panggang daripada api. Orang bisa bicara akuntabilitas namun yang dilakukan bertentangan. Prinsip-prinsip akuntabilitas ada di dalam AD/ART, namun tidak ditemukan dalam praktiknya. Bagaimana kita dapat membangun trust kepada NGO?”

Bagi Titik, persoalannya kemudian adalah membangun akuntabilitas LSM, “Agar yang tertulis di dokumen organisasi juga dapat menjadi jiwa keseharian kerja. Akuntabilitas dipahami sebagai status bertanggung jawab atas tindakan, orang dan lembaga.” Dengan demikian, tegasnya, “Sektor nirlaba merupakan pemegang amanah yang baik.”

Meuthia Ganie-Rochman, peneliti senior Lab Sosio Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengaitkan akuntabilitas LSM dengan upaya transformasi sosial melalui program corporate social responsibility (CSR). “Restrukturisasi hubungan antara bisnis, sosial dan pemerintah sudah berlangsung sekitar lima belas tahun terakhir ini. Perusahaan memerlukan partner untuk mengkritisi program CSR mereka.”

Dalam pengamatan Meuthia, kebanyakan wujud program CSR adalah community development, yang mengikuti pola BUMN. Padahal, selain programnya tidak progresif, penggunaan dana CSR pun longgar, “Sehingga banyak dana untuk masyarakat tersalur untuk kepentingan pemerintah daerah atau politisi. Community building itu untuk tujuannya perubahan sosial, bukan hanya sekadar mendirikan rumah ibadah. Untuk melakukan CB, perusahaan membutuhkan pengetahuan, mekanisme, komunikasi dengan masyarakat lokal yang dikuasai oleh LSM.”

Menanggapi pemaparan kedua pembicara, Rahma R. Talui dari LSM Solidaritas Perempuan Kendari memaparkan, “Dana CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan tambang tidak sebesar kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. Independensi LSM dalam mengelola dana CSR juga perlu dikontrol. Dana CSR dapat lebih produktif atau lebih positif dan sesuai dengan pembangunan.”

Sementara itu, Hanifah dari AMAN Indonesia menyampaikan bahwa, “Perusahaan, dalam mengelola program CSR, seringkali hanya memberikan pelatihan keterampilan saja. Sebagai contoh, sebuah perusahaan consumer goods yang menghasilkan banyak sampah, hanya melakukan program CSR berupa keterampilan. Padahal, masyarakat juga membutuhkan program-program peningkatan kohesi sosial, terutama di dalam masyarakat yang memiliki banyak potensi konflik.”

Sebagai koordinator program CSR Petro China Jambi, Riza P. mengutarakan bahwa dalam berhubungan dengan perusahaan, “LSM harus meninggalkan pendekatan konfrontatif, dan mengubahnya menjadi pendekataan kooperatif. Kecenderungan perusahaan adalah tidak mengerjakan program CSR sendiri karena bukan kompetensinya. Akan tetapi, bukan hal mudah untuk mencari mitra kerja dari komunitas LSM.”

Mengakomodasi masukan dari peserta, Firdaus berharap agar kesemuanya, “Menjadi masukan untuk LSM maupun CSR. Keduanya saling membutuhkan. Apabila yang menikmati pembelajaran itu bukan LSM, hal itu menjadi otokritik untuk kita.”

Jurnal Akuntabilitas adalah terbitan berkala yang diterbitkan oleh Konsil LSM Indonesia. Distribusi jurnal tersebut dilakukan bersama Distributor Diandra Mitra Media, yang akan mendistribusikan Jurnal Akuntabilitas secara nasional.

Penerbitan Jurnal Akuntabilitas bertujuan untuk menjadi referensi yang aktual dan memadai tentang akuntabilitas LSM, sekaligus mempromosikan gerakan akuntabilitas LSM di Indonesia. Konsil LSM Indonesia sendiri adalah perkumpulan 96 LSM di 15 provinsi di Indonesia. Konsil memiliki visi: terwujudnya kehidupan LSM yang sehat dan kuat, yakni LSM yang hidup di dalam lingkungan politik dan hukum yang bebas dan demokratis berdasarkan rule of law dan mampu mempraktikkan prinsip-prinsip dan mekanisme akuntabilitas; demi meningkatkan kepercayaan dan dukungan publik terhadap gerakan organisasi masyarakat sipil. Sedangkan misi Konsil LSM Indonesia adalah:
1. memperkuat kesadaran dan kapasitas LSM untuk mempraktikkan prinsip tata kelola dan mekanisme akuntabilitas yang baik;
2. mendorong terwujudnya lingkungan politik, hukum dan tata kelola pemerintahan yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya LSM yang sehat dan akuntabel;
3. mendorong terjadinya perubahan sosial untuk mewujudkan masyarakat sipil yang sehat.*

(Foto: M. Rizky)

Share this article

Berita Lainnya

Related articles