Menggugat Kewajiban Negara & Sanksi untuk Predator Kejahatan Seksual terhadap Anak

tolong2Ilustrasi

Setiap tahunnya angka kejahatan seksual terhadap anak selalu berada di urutan papan atas dari catatan dan laporan di release oleh sejumlah lembaga perlindungan anak. Namun seolah-olah kasus kejahatan ini baru dimulai setelah terbongkarnya kejahatan seksual di lembaga pendidikan Jakarta International School (JIS) bulanApril lalu, serta kasus di Sukabumi dengan tersangka Emon yang merenggut ratusan anak-anak. Negara ini seolah melupakan kasus Baekuni alias Babe yang melakukan kejahatan seksual disertai pembunuhan terhadap lebih dari 14 anak dalam kurun waktu 1999-2009, dan masih banyak catatan kasus kejahatan seksual lainnya.

Seperti data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa pada 2013 tercatat 1.620 kasus, Ecpat Indonesia juga telah mencatat dalam laporannya, bahwa dalam lima tahun terakhir lebih dari 365 anak menjadi korban Pedofil di Bali. Hasil penelitian PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) Medan tahun 2013 menyimpulkan bahwa sedikitnya 30% pelajar tingkat SLTP dan SLTA menjadi korban eksploitasi seksual anak di Medan.

Kasus-kasus kejahatan seksual ini terjadi di semua ranah kehidupan anak-anak, mulai dari lingkup keluarga, sekolah, tempat-tempat penitipan anak, panti asuhan, dan arena bermain anak. Kita melihat hampir tidak ada ruang yang aman untuk anak-anak dapat hidup, tumbuh dan berkembang selayaknya. Anak-anak selalu berada pada kondisi yang beresiko, dan para orang tua terus gelisah ketika anak-anak mereka ditinggal dirumah, pergi ke sekolah, bermain di lingkungan  sekitar atau bermain ke tempat hiburan.

Predator pelaku kejahatan seksual terhadap anak saat ini telah menjadi musuh di hampir semua negara, umumnya yang telah memberlakukan hukuman pidana berat, seperti penjara seumur hidup atau hukuman mati. Hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak  atas dasar alasan apapun didefinisikan sebagai kejahatan atau perkosaan, berdasarkan prinsip bahwa orang dewasa yang mengambil keuntungan dari anak, dimana anak tidak dalam kapasitas untuk menyetujui, dan bahwa setiap persetujuan yang jelas diberikan oleh anak tidak dapat dianggap sebagai persetujuan hukum.

Semakin memprihatinkannya fenomena kejahatan seksual terhadap anak ini, dapat ditafsirkan sebagai kegagalan Negara dalam menjamin rasa aman dan perlindungan terhadap anak-anak. Negara telah melakukan “pembiaaran” munculnya predator-predator kejahatan seksual disekitar anak-anak.

KONSIL LSM Indonesia mendukung gerakan nasional yang menyerukan Indonesia Darurat Perlindungan Anak, dan mendesak agar pemerintah Indonesia segera melakukan langkah-langkah sebagai berikut ;

  1. Membuat daftar lengkap dengan foto terbaru dari para predator kejahatan seksual secara nasional yang terkoneksi secara online termasuk juga diberitakan secara luas di media massa nasional maupun lokal (RRI,  TVRI, radio dan televisi swasta, surat kabar nasional dan lokal) serta disebarkan di seluruh kantor polisi dan di tempat umum seperti terminal, stasiun, bandara dan pasar. Daftar ini dianggap sebagai solusi tercepat yang bisa dilakukan oleh negara untuk mengatasi keadaan darurat perlindungan anak.
  2. Meninjau kembali undang-undang terkait perlindungan anak  dengan memperhatikan kepatuhan terhadap Konvensi Hak-hak Anak, dan memberikan aturan sanksi yang berat kepada pelaku kejahatan seksual berupa sanksi seumur hidup dan sanksi sosial setelah menjalani proses pidana.
  3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan tentang mekanisme perlindungan anak dari semua bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan (mulai dari PAUD sampai perguruan tinggi) yang  isinya secara jelas memberikan sanksi yang tegas kepada para predator kejahatan seksual yang menggunakan relasi kuasa serta memanipulasi sebagai guru/ dosen/ pendidik dan merehabilitasi anak-anak korban kejahatan seksual. Sanksi ini harus terukur, cepat dan tepat sehingga tidak membiarkan korban dalam situasi yang tidak jelas.
  4. Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan kebijakan rehabilitasi nasional dengan alokasi dana yang cukup terhadap anak-anak yang pernah menjadi korban kejahatan seksual, untuk pemulihan total agar trauma yang dialami anak tidak berkepanjangan dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan menjadi penjahat seksual baru.

Demikian pernyataan sikap KONSIL LSM Indonesia untuk melindungi anak-anak Indonesia dari predator kejahatan seksual.

Jakarta, 19 Mei 2014

Sekretariat Nasional Konsil LSM Indonesia

Lusi Herlina/ Direktur Eksekutif

Share this article

Berita Lainnya

Related articles