Sejarah Konsil LSM Indonesia

Iklim yang kondusif bagi berkembangnya kehidupan masyarakat sipil yang kuat dan
sehat belum terbangun dengan baik di Indonesia. Negara yang demokratis
seharusnya mencerminkan adanya keseimbangan dan kesetaraan posisi dan peran
antara ketiga pilar, yaitu Pemerintah, Sektor Swasta, dan Masyarakat Sipil. Namun,
perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa posisi masyarakat sipil masih lemah
dibandingkan dengan pemerintah dan sektor swasta. Masih banyak perumusan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi langsung peran dan
kepentingan LSM dibuat tanpa proses konsultasi dan dialog yang dilandasi dengan
semangat kemitraan dan posisi yang setara dengan LSM.


Rendahnya posisi tawar (bargaining position) masyarakat sipil di Indonesia adalah
implikasi dari lemahnya posisi dan legitimasi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang
tumbuh menjamur pasca reformasi 1998. Kebebasan telah membuka peluang bagi
berdirinya ribuan LSM yang baru. Namun, banyak di antaranya yang menyebut diri
LSM tetapi mempunyai “kepentingan” yang bertolak belakang dengan karakter,
nilainilai, visi dan misi sebuah LSM. Beberapa di antaranya bahkan melakukan
praktikpraktik tercela yang membuat komunitas LSM Indonesia secara keseluruhan
terkena getahnya. LSM sebagai salah satu pilar utama masyarakat sipil sekarang
memiliki krisis kepercayaan dan legitimasi sebagai akibat rendahnya akuntabilitas
LSM.


Respons komunitas LSM Indonesia terhadap tuntutan akuntabilitas telah dimulai sejak
tahun 1999 ketika sorotan tajam terhadap perilaku LSM semakin keras. Sejarah
dimulai dengan berdirinya Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM)
di Padang yang memprakarsai pengaturan diri sendiri (self regulation) dengan
membuat Pedoman Perilaku KPMM (1999), LP3S menggagas Jaringan LSM untuk
Kode Etik di beberapa provinsi di Indonesia (2022), TIFA bekerjasama dengan USC
Satu Nama melahirkan instrumen Tango (2004), dan Kelompok Kerja untuk
Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil (2006) hadir untuk memperkuat dan
memperluas gerakan akuntabilitas di Indonesia.


Kelompok Kerja untuk Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) adalah
institusi yang beranggotakan sejumlah OMS dan individual yang mempunyai visi:
meningkatkan kepercayaan dan dukungan publik terhadap gerakan LSM di Indonesia.
Kelompok Kerja untuk Akuntabilitas OMS telah mengadakan FGD di 13 provinsi
Indonesia mengenai masalah dan tantangan yang dihadapi oleh LSM Indonesia. FGD
tersebut kemudian menyepakati bahwa perlu digalang komitmen, solidaritas, saling
menguatkan dan trust building sesama LSM untuk membangun masyarakat sipil yang
kuat. Tanpa itu LSM tidak akan pernah sanggup untuk memperjuangkan kepentingan
yang lebih besar yakni sebagai kekuatan pengimbang terhadap negara dan sektor
swasta.


Berdasarkan hasil FGD tersebut, Kelompok Kerja untuk Akuntabilitas OMS kemudian
memfasilitasi diselenggarakannya Kongres Nasional LSM Indonesia yang melahirkan
Konsil LSM Indonesia atau Indonesian NGO Council (INC) yakni suatu organisasi
payung yang didirikan oleh 93 LSM yang tersebar di 13 provinsi di Indonesia. Konsil
LSM berdiri tanggal 28 Juli 2010 dalam suatu Kongres Nasional LSM Indonesia di
Jakarta pada tanggal 27-28 Juli 2010 yang dihadiri oleh 54 utusan LSM anggota.
Kongres berhasil menyusun dan meresmikan Anggaran Dasar yang berisikan antara
lain visi dan misi, kegiatan Konsil, Kode Etik LSM Indonesia serta memilih Komite
Pengarah Nasional dan Dewan Etik.

Share this article

Berita Lainnya

Related articles