Belakangan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran masyarakat karena dirasa berpotensi membatasi kebebasan pers di Indonesia.
RUU Penyiaran adalah rancangan regulasi yang mengatur lisensi, konten siaran, perlindungan konten lokal, penyebaran informasi akurat, adaptasi teknologi digital, serta tata kelola dan pengawasan penyiaran guna menciptakan ekosistem penyiaran yang adil dan sesuai dengan perkembangan zaman. RUU ini merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan dirancang untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Pembahasan RUU ini ternyata menimbulkan perdebatan sengit. Lantaran, terdapat beberapa pasal yang dinilai berpotensi membatasi independensi pers.
Independensi pers adalah persoalan penting karena mampu menentukan kualitas berita atau informasi yang disajikan tetap berimbang dan berpihak kepada kepentingan publik atau masyarakat. Untuk itu, perlindungan terhadap independensi ini juga krusial, termasuk perlindungan terhadap jurnalis dari ancaman kekerasan, intimidasi, dan tekanan.
Jeratan Terhadap Kebebasan Pers adalah Kematian bagi Kedaulatan Pers dan Demokrasi
Kekhawatiran banyak pihak atas revisi RUU ini bukan tanpa alasan. Keberadaan RUU Penyiaran nantinya akan memperluas wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melakukan pengawasan di media sosial hingga platform penyiaran digital.
Perluasan kewenangan KPI bahkan berpotensi tumpang tindih terhadap kewenangan dari Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik yang diamanatkan melalui UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Kewenangan KPI atas penyelesaian sengketa pers tentu akan menimbulkan kekhawatiran terhadap kenetralan penyelesaian sengketa, apalagi jika berhubungan dengan sengketa yang melibatkan negara. Bukan tidak mungkin akan timbul kontrol berlebih atas ruang pers di Indonesia.
Hal inilah yang juga disikapi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melalui website resmi AJI yang mengungkapkan catatan kritis terhadap revisi UU Penyiaran tersebut, yang salah satunya menyikapi tumpang tindih kewenangan ini.
Catatan tersebut mengungkapkan bahwa keberadaan RUU ini, khususnya Pasal 8A huruf q juncto Pasal 42 ayat (1) dan (2), nantinya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers serta menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik.
Pasal tersebut berunyi: “Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran” (Draft RUU Penyiaran tertanggal 27 April 2024).
Menilik bunyi pasal tersebut, keberadaan kewenangan ini tidak hanya akan menyebabkan kebingungan dalam mekanisme penyelesaian sengketa pers, namun juga terbukanya ruang-ruang intervensi berbagai pihak yang akan mengancam independensi pers. Kecenderungan tekanan atau ikut campurnya pihak tertentu dalam keputusan yang diambil KPI akan mempertaruhkan nasib kebebasan pers di Indonesia.
Selain itu, terdapat satu dari beberapa pasal yang menyita banyak perhatian yaitu Pasal 50 B ayat 2 yang memuat berbagai larangan, meliputi di antaranya isi siaran dan konten siaran terkait obat-obatan terlarang, perjudian, rokok, suatu profesi atau tokoh dengan perilaku dan gaya hidup negatif, kekerasan, mengandung unsur mistik, supranatural, perilaku LGBT, penghinaan dan pencemaran nama baik, hingga penayangan konten jurnalistik.
Secara khusus, Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) berbunyi, “Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” dalam larangan konten siaran yang disesuaikan dengan Standar Isi Siaran (SIS).
Lebih jauh, pasal tersebut juga sangat mungkin berpotensi mengkriminalisasi pers dan membatasi kerja-kerja jurnalistik dalam melaporkan informasi yang mendalam kepada publik.
Bahkan, selain menimbulkan ancaman kriminalisasi bagi pers, ketentuan ini dapat menghambat kemampuan pers untuk melakukan investigasi dan menyampaikan informasi yang penting bagi masyarakat. Regulasi semacam ini bisa mengarah pada pengekangan terhadap kebebasan pers yang selama ini dijunjung tinggi sebagai fondasi demokrasi.
Namun, TB Hasanuddin, Anggota Komisi I DPR RI melalui pemberitaan yang disampaikan Hubungan Masyarakat (Humas) DPR RI pada website EMedia.dpr.go.id (14/5/2024) menanggapi pasal ini sebagai respons atas saran pengawasan yang lebih ketat oleh KPI kepada jurnalistik investigasi yang kerap beririsan dengan materi penyidikan.
Menurutnya, hal ini membutuhkan aturan sebagai penyeimbang antara produk jurnalistik investigasi dengan pengawasan oleh KPI demi menghindari penyebarluasan informasi kepada publik yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.
“Alasannya karena kalau investigasi jurnalistik itu, misalnya ada yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, maka sebaiknya itu (ada) sedikit penyeimbang. Lalu, bagaimana materinya? Ya diatur dalam aturan KPI,” ungkap TB Hasanuddin pada Selasa, (14/5), dilansir melalui EMedia.dpr.go.id.
Padahal, produk jurnalistik investigasi dapat membantu masyarakat mengawal proses penyidikan itu sendiri. Lebih jauh, seharusnya temuan jurnalistik sendiri dilihat sebagai bahan tambahan yang dapat membantu penyidik dalam menggali informasi tambahan, bukan menjadi ancaman.
Jika memang berkaitan dengan suatu kerahasiaan, tentunya hal ini dapat diatur lebih lanjut dengan lebih jelas dan terperinci dibandingkan harus melarang segala bentuk tayangan jurnalistik investigasi yang justru membatasi kebebasan pers.
Jurnalistik Investigasi Hanya Menjadi Ancaman bagi Penguasa yang Menyembunyikan Fakta dari Publik
Jurnalistik investigasi merupakan cara kerja jurnalis dalam mengungkapkan fakta yang disembunyikan para penguasa dari publik. Kepentingan jurnalis dalam produk investigasi ditujukan untuk mengalirkan informasi penting kepada publik atas persoalan yang ditutupi.
Jurnal yang ditulis oleh Dudi Sabil Iskandar, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur di tahun 2020 bertajuk “Konstruksi Pers dalam Membangun Informasi Sehat Memperkokoh Ketahanan Nasional,” menyatakan bahwa kerja jurnalistik tidak bertentangan dengan rahasia negara karena dalam praktiknya, jurnalis investigasi dan pers pada umumnya bekerja untuk kepentingan publik.
Maka, sekalipun konten jurnalistik tersebut beririsan dengan materi penyidikan atau bahkan rahasia negara, selama persoalannya berkaitan dengan kepentingan publik, kerja-kerja jurnalistik tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dan dijerat menggunakan pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi pers.
Ini membuktikan bahwa keberadaan pasal pelarangan penayangan jurnalistik investigasi dengan dalih kekhawatiran terhadap informasi yang beririsan dengan materi penyidikan kurang tepat dan perlu dikaji ulang.
Pasalnya, pengungkapan fakta atas informasi yang mampu disajikan dari kerja jurnalistik investigasi di Indonesia sering kali mendapatkan atensi dan kepercayaan publik yang lebih baik dibandingkan hasil investigasi yang disampaikan oleh pihak berwajib. Bahkan, tak jarang informasi yang dapat dihadirkan lebih cepat dan dapat diakses publik dengan leluasa.
Salah satu produk jurnalistik investigasi yang sempat menyita banyak perhatian adalah video investigasi yang disajikan oleh Narasi Newsroom melalui kanal Youtube resminya pada 14 Oktober 2022 silam. Dalam video investigasi bertajuk “Investigasi Visual Peristiwa Kanjuruhan, Momen-Momen Brutal Menjelang Kematian Massal,” yang menguak fakta dari peristiwa yang terjadi saat tragedi Kanjuruhan.
Tragedi Kanjuruhan merupakan tragedi yang terjadi pada 1 Oktober 2022, di Stadion Kanjuruhan, Malang Jawa Timur setelah berlangsungnya laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Kejadian ini menjadi tragedi karena, laga tersebut menewaskan setidaknya 135 orang akibat kepanikan massal dari gas air mata dan penonton yang berdesakan untuk keluar dari stadion berdarah tersebut.
Satu hari setelah kejadian tersebut, Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta dalam pemberitaan yang dilakukan oleh Liputan.com pada, (2/10/2022) menyampaikan bahwasannya alasan gas air mata yang dilepaskan oleh aparat yang bertugas di tempat dikarenakan situasi tak terkendali akibat penonton mulai turun ke lapangan.
Dalam pemberitaan yang sama, Nico juga menyampaikan tragedi tersebut dipicu penonton yang panik dan berdesakan keluar stadion yang hanya berfokus pada satu titik pintu, yaitu pintu 12 sehingga terjadi penumpukan.
“Mereka pergi ke satu titik di pintu 12 kemudian ada penumpukan dan di sana (menyebabkan) kekurangan oksigen, sesak napas. Tim medis di dalam stadion berupaya menolong,” ungkap Nico atas tragedi tersebut.
Di sisi berlainan, laporan investigasi yang diungkapkan oleh Narasi justru menemukan bahwasannya penembakan gas air mata sengaja ditujukan ke arah tribun, meskipun kerusuhan penonton yang tidak terima atas hasil pertandingan berada di lapangan.
Menggunakan metode crowd source (sumber kerumunan), Narasi dalam investigasinya merunut kejadian tersebut berdasarkan keterangan waktu dan dari berbagai titik. Temuan ini juga berhasil mengungkap bahwasannya penonton hanya terfokus pada satu titik akibat gas air mata yang diarahkan ke pintu keluar dan pintu-pintu lain yang tertutup.
Melihat dari fakta yang mampu diungkapkan Narasi dalam investigasinya, produk jurnalis investigasi di sini justru mampu membantu penyidikan kepolisian dalam menentukan langkah hukum yang tepat ke depannya.
Kumpulan fakta tersebut menjadi informasi yang berhak diketahui publik, dan bukan merupakan ancaman terhadap proses penyidikan yang terjadi. Fakta ini justru dapat menjadi bukti pentingnya produk jurnalistik investigasi dalam menghadirkan fakta yang ditutupi atau berusaha ditutupi dari publik.
Fakta yang didapatkan oleh produk jurnalis investigasi seperti yang dilakukan oleh Narasi juga dilihat lebih mampu menjawab rasa keadilan publik, terutama keluarga korban. Hal ini nampak pada terkuaknya fakta lapangan yang menguak kesalahan aparat bertugas pada saat kejadian, yang berbanding terbalik dengan “fakta” yang disampaikan oleh pihak aparat dalam menanggapi tragedi tersebut.
Melihat betapa pentingnya kehadiran produk jurnalistik investigasi, jeratan pelarangan penayangan jurnalistik investigasi dengan dalih produk tersebut mengancam materi penyidikan, perlu dipertimbangan ulang oleh pemerintah dalam perumusan RUU penyiaran yang melindungi pers dan mengakomodasi kerja-kerja pers yang independen dan produk jurnalistik yang mencerdaskan publik.
Negara justru harus mengakomodir kebebasan pers yang dilindungi dan menghadirkan ruang kondusif bagi jurnalistik untuk berkembang demi menghadirkan informasi dan keterbukaan kepada publik atas kinerja dan persoalan negara. Keterlibatan publik terhadap persoalan negara adalah bentuk partisipasi politik di negara yang menjunjung tinggi demokrasi.
Referensi:
Draft RUU Penyiaran tertanggal 27 April 2024