BerandaArtikelKelemahan Aparat Penegak Hukum dalam Implementasi UU PKDRT

Kelemahan Aparat Penegak Hukum dalam Implementasi UU PKDRT

Penulis: Nadia Rosdianti

Selama kurang lebih 20 tahun, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini menunjukkan komitmen negara untuk menjamin pencegahan, penindakan, dan perlindungan bagi korban KDRT.

Namun, dalam perjalanannya, UU PKDRT menemui hambatan dalam implementasinya, sehingga menghambat efektivitas penegakan hukum dan perlindungan korban. Salah satu kelemahannya yaitu terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus tindak KDRT. 

Dilansir dari artikel Kumparanwoman, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan kapasitas aparat penegak hukum belum sepenuhnya kuat dalam memahami serta melaksanakan isi dari UU PKDRT. Proses hukum yang berjalan belum sempurna dalam mengakomodasi konteks KDRT terutama yang terjadi dalam relasi perkawinan karena masih dipandang sebagai ranah privasi. 

Dalam konteks kasus KDRT, di Yogyakarta, seorang perempuan berinisial MP menjadi korban KDRT oleh mantan suaminya, IBI. Melansir dari Harianjogja.com (19/05/19), MP mengaku mendapatkan tindak penganiayaan sejak awal membangun rumah tangga. MP mengalami mendapatkan pukulan yang menyebabkan penyempitan otak bagian kanan. Namun, ironisnya adalah pelaku hanya divonis hukuman 4 bulan penjara oleh JPU.

Pendamping dan penasihat hukum korban, Siti Roswati, menyatakan keberatan terhadap tuntutan yang dianggap tidak sebanding dengan tindak kekerasan yang dialami korban. Menurutnya, seharusnya JPU tidak memberikan tuntutan pidana yang ringan kepada pelaku. 

Keberatan Siti Roswati itu bisa dipahami, karena ketika pelaku KDRT tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, hal ini tidak hanya mencederai rasa keadilan korban, tetapi juga memberikan pesan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat ditoleransi atau bahkan diabaikan oleh sistem hukum.

Dari kasus tersebut seharusnya aparat penegak hukum memastikan bahwa regulasi yang ada benar-benar mempertimbangkan kondisi dari korban. Ini bukan hanya soal menjatuhkan hukuman yang berat, tetapi juga tentang memastikan keadilan dan perlindungan yang menyeluruh bagi korban. 

Meskipun pengesahan dan penerapan UU PKDRT telah dianggap sebagai terobosan dalam rangka memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Sayangnya, dari kasus yang ditemukan menunjukkan masih terdapat kesenjangan antara tujuan UU yang ada dengan realita di lapangan. 

Dari fenomena ini seharusnya menjadi peluang evaluasi bagi aparat penegak hukum dengan harapan tidak terulang kembali. Namun, kenyataan berkata lain. Kasus serupa juga terjadi di Kulonprogo pada tahun 2023. Seorang perempuan berinisial TA yang merupakan dokter gigi di Pengasih telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya MAA yang merupakan seorang dokter puskesmas di Kulonprogo. 

Diawali dengan TA yang memergoki suaminya, MAA alias M. Akbar Arifin yang melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain di rumahnya pada 9 Mei 2023. Kemudian, paman korban melaporkan kasus KDRT ke kepolisian hingga akhirnya berlanjut ke kejaksaan Negeri Kulon Progo, lalu kasus ini disidangkan di PN Wates. (yogyakarta.kompas.com 01/09/23)

Akhirnya, MAA menjalani sidang kasus KDRT pada agustus 2023. JPU menyebutkan bahwa perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan oleh terdakwa Akbar terhadap istrinya yaitu TA telah dibuktikan dengan hasil visum dari RSU Queen Latifa Kulonprogo.

M Akbar Arifin didakwa dengan Pasal 44 ayat 1 dan atas dugaan kekerasan fisik terhadap istrinya dan juga dijerat dengan Pasal 44 ayat 4 UU RI Nomor 23 Tahun 2004 sebagai subsider jeratan bagi terdakwa. Pada akhirnya JPU menuntut 6 bulan penjara, hal ini mendapat kritikan dari keluarga korban dan pegiat hukum karena dianggap terlalu ringan.

Baharuddin Kamba, Kadiv Humas JPW, menilai tuntutan ini preseden buruk dan menambah daftar penegakan hukum yang tidak berpihak pada korban KDRT. Tuntutan rendah ini dinilai merugikan korban. Keluarga korban berharap tuntutan diubah dan terdakwa dihukum setimpal dengan perbuatannya.

Kemunculan kembali kasus serupa terkait dengan kelemahan pada aparat penegak hukum dalam kasus KDRT di tahun 2023 ini, menjadi tamparan keras bahwa akar permasalahan KDRT masih tertanam dalam masyarakat sehingga masih banyak yang harus dibenahi.

Dalam kasus KDRT yang menimpa dokter gigi ini, penulis berasumsi bahwa kendala dalam menerapkan UU PKDRT ini yaitu pendekatan penegak hukum terhadap KDRT masih terpaku pada aspek fisik, sehingga mereka hanya menerima bukti yang terlihat. Kenyataannya, KDRT memiliki dampak ganda, yang meliputi luka fisik dan dampak pada psikis korban yang tak terlihat, hal ini seringkali diabaikan.

Hal ini terpaku pada pasal 44 ayat 4 UU RI Nomor 23 Tahun 2004, bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta.

Dalam penelitian yang ditulis oleh Ratna Batara Munti, dkk pada 2016 yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Peradilan Pidana: Analisis Konsistensi Putusan” menyatakan bahwa sebuah hukum baik dalam rumusan maupun praktek, harusnya dapat mengakomodasi pengalaman perempuan, situasi dan konteks kekerasan dimana perempuan menjadi korban serta mempertimbangkan nilai-nilai dan cara pandang perempuan. 

Sebagai akibatnya, ketika diterapkan dalam Pasal 44 ayat (4) UU PKDRT, kondisi korban seharusnya menjadi perhatian utama. Aparat penegak hukum perlu memahami lebih jauh pengalaman dan pandangan korban perempuan mengenai tingkat kekerasan yang dialaminya, terutama terkait dengan kriteria “tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan, atau kegiatan sehari-hari.” Usaha untuk menemukan dampak kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dari jenis aktivitas yang mereka lakukan. Misalnya, aktivitas sehari-hari dalam rutinitas rumah tangga bahkan dalam kegiatan sosialnya.

Maka, penting bagi aparat penegak hukum, untuk memahami seluruh dampak dari kekerasan fisik yang dialami korban karena perlakuan terdakwa. JPU seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dampak fisik pada korban, tetapi juga memberikan perhatian khusus pada dampak psikologis lainnya yang mungkin mereka alami.

Menurut Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat kendala ini harus segera diatasi, mengingat korban kekerasan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan sebagai warga negara. “Kendala belum adanya aturan pelaksana dan masih lemahnya pemahaman serta kapasitas aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat UU harus segera diatasi,” ucapnya dilansir dari sindonews (31/05/23).

Kurangnya pemahaman tentang UU PKDRT di kalangan aparat penegak hukum, dapat menyebabkan proses penanganan kasus KDRT yang tidak optimal. Hal ini dapat terlihat dari lambatnya proses penyelesaian kasus, rendahnya tingkat penjatuhan hukuman bagi pelaku, dan kurangnya sensitivitas terhadap kebutuhan korban. 

Berkaca pada kedua kasus di atas, perlu dilakukannya evaluasi dalam membenahi regulasi yang belum  sempurna. Salah satunya adalah peningkatan sumber daya aparat hukum dari segi pemahaman terhadap substansi dari UU PKDRT. Dalam hal ini, sangat penting akan kehadiran negara dalam mengakomodir jaminan perlindungan yang adil bagi korban kekerasan berdasarkan substansi dari UU PKDRT. 

Dalam hal ini, pemerintah juga perlu rendah hati untuk menggeret civil society dalam menghadapi permasalahan ini, terutama untuk mendorong pemahaman aparat penegak hukum agar lebih peka soal tindak KDRT yang bukan hanya menyangkut aspek fisik saja, tetapi hingga aspek psikis.

Pasalnya, tidak dapat kita pungkiri bahwa teman-teman civil society lebih sensitif terhadap perspektif gender. Di Yogyakarta sendiri ada Rifka Annisa Women’s Crisis Center sebagai lembaga yang berperan aktif dalam menangani kasus kekerasan perempuan. Mereka berkomitmen untuk memberikan layanan konseling psikologi, konseling hukum, dan konseling laki-laki.

Lebih jauh lagi, perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mengatasi permasalahan semacam ini melalui Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai sebuah strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Secara keseluruhan, PUG adalah cara berpikir yang telah diikuti oleh pemerintahtah, tetapi dalam implementasinya belum komprehensif masuk ke semua elemen aparatur pemerintah.

Dalam jurnal “Pentingnya Regulasi Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah Di Kabupaten Kediri” oleh Djoko Siswanto Muhartono pada tahun 2020 menyatakan bahwa masih terjadinya berbagai bentuk diskriminasi gender menunjukkan bahwa PUG sebagai strategi yang diharapkan dapat mewujudkan Pengarusutamaan dan keadilan gender belum berjalan sebagaimana mestinya.

Masih ditemukannya diskriminasi gender di tengah gencarnya strategi PUG ini menunjukkan adanya inkonsistensi dan celah lebar dalam penerapannya. Hal ini menandakan bahwa PUG belum sepenuhnya menyentuh akar permasalahan yang kuat dalam masyarakat.

Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap strategi PUG dan langkah-langkah konkret untuk memperkuat implementasinya menjadi kunci untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang sesungguhnya. Diperlukan komitmen kuat dari semua pihak, mulai dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga individu, untuk bahu-membahu dalam menegakkan kesetaraan dan keadilan gender.

Referensi:

Atmasari, N. (2019). Seorang Pria di Bantul Dituntut 4 Bulan Penjara karena Kasus KDRT, Istri Keberatan. Diakses dari: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/10/11/511/1021557/-seorang-pria-di-bantul-dituntut-4-bulan-penjara-karena-kasus-kdrt-istri-keberatan 

KumparanWoman. (2024). UU KDRT Sudah 20 Tahun Berjalan, tapi Masih Belum Efektif?. Diakses melalui: https://kumparan.com/kumparanwoman/uu-kdrt-sudah-20-tahun-berjalan-tapi-masih-belum-efektif-22vjvkhQsQ5  

Muhartono, D. S. (2020). Pentingnya regulasi pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah di Kabupaten Kediri. Publiciana, 13(2), 117-134.

Nurtjahyo, L. I., & Ramadhan, C. R. (Eds.). (2016). Kekerasan terhadap perempuan dalam peradilan pidana: analisis konsistensi putusan. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Apik atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice.

https://www.rifka-annisa.org/id

Sucipto. (2023). MPR: Kendala Proses Hukum Kasus Kekerasan Seksual dan KDRT Harus Segera Diatasi. Diakses nelalui: https://nasional.sindonews.com/read/1114265/13/mpr-kendala-proses-hukum-kasus-kekerasan-seksual-dan-kdrt-harus-segera-diatasi-1685556414 

TimsesJogja. (2023). JPW Minta Jaksa Evaluasi Tuntutan Terdakwa Dokter Pelaku KDRT di Kulonprogo. Diakses melalui: https://jogja.times.co.id/news/hukum-kriminal/q8titumaq6/JPW-Minta-Jaksa-Evaluasi-Tuntutan-Terdakwa-Dokter-Pelaku-KDRT-di-Kulonprogo#google_vignette 

Zebua, D. J & Belarminus, R. (2023). Kasus KDRT Dalam Keluarga Dokter di Kulon Progo, Berawal dari Terbongkarnya Perselingkuhan. Diakses melalui: https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/09/01/193941978/kasus-kdrt-dalam-keluarga-dokter-di-kulon-progo-berawal-dari?page=all 

Baca Lainnya

Anggota Kami

F A K T A – Forum Analisis Kketerwakilan dan Transparansi...

Komp. Pertokoan Nusa Indah Plaza D 11 – KALBAR,

Yayasan SHEEP Indonesia

Jl. Bimo Kurdo No.11, Sapen, Demangan, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55221

Lembaga Masyarakat Indonesia Hijau

Artikel Terkait

Selesaikan Sengketa secara Bijak dan Adil

Pernyataan Sikap Konsil LSM IndonesiaPerkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) adalah salah satu lembaga swadaya...

RUU Penyiaran dan Kebebasan Pers di Indonesia

Belakangan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Hal ini dipicu oleh...

Penting! Advokasi di Swakelola Tipe III

Jakarta (10/1/2024). Advokasi menjadi bagian yang sangat penting ketika para OMS sudah mengawal dari...

Bagaimana Prosedur Bergabung Menjadi Anggota Konsil LSM Indonesia?

Syarat untuk menjadi Anggota Konsil LSM Indonesia meliputi:Memiliki visi dan misi yang tidak bertentangan...