Beranda blog

Laporan Survei Kondisi Eksisting & Kapasitas Kelembagaan OMS di Indonesia

0

klik gambar atau tombol di bawah untuk mengunduh dokumen di atas.

Webinar: Paparan Hasil Survei Internal Anggota

0

OMS Indonesia saat ini menghadapi beberapa tantangan yang sangat memengaruhi kiprah dan perannya sebagai salah satu pilar penting demokrasi. Di samping menyempitnya ruang sipil karena perkembangan politik dan ekonomi Indonesia, tantangan terutama muncul dari internal kelembagaan OMS.

Salah satu tantangan berat adalah krisis pendanaan. Beberapa OMS di berbagai daerah di Indonesia tidak lagi memiliki akses terhadap pendanaan ini.

Tak terkecuali, tantangan ini dialami oleh anggota Konsil LSM Indonesia. Karena itu, penting memetakan kondisi eksistensi dan kapasitas kelembagaan anggota Konsil LSM Indonesia, serta merumuskan beberapa langkah penguatan yang memungkinkan.

Sekretariat Nasional telah melakukan survei dan verifikasi, sekaligus menghimpun masukan dari anggotanya. Forum ini akan mendiskusikan hasil survei tersebut serta langkah-langkah konstruktif ke depan untuk penguatan OMS di Indonesia

Kami mengundang Anda untuk mendiskusikannya pada:

Senin, 28 Oktober 2024
Jam 11.00-13.00 WIB
Link zoom: konsillsm.or.id/Diskusike2

Terima kasih,

Konsil LSM Indonesia

Kode Etik Konsil LSM Indonesia

0

Konsil LSM Indonesia menyadari bahwa peran untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat dalam segala proses perubahan membutuhkan pendekatan dan pentahapan yang sistematis dan berkelanjutan.

Kode Etik Konsil LSM Indonesia merupakan seperangkat nilai‐nilai/prinsip, norma dan ketentuan sebagai landasan perilaku seluruh anggota dan aktivis Konsil LSM Indonesia. Kode Etik yang telah disahkan dalam Kongres Konsil LSM telah memuat sejumlah prinsip akuntabilitas yang dijabarkan dalam bentuk indikator-indikator perilaku yang mengatur organisasi dan aktivisnya.

Pengaturan secara mandiri melalui internalisasi dan Penegakan Kode Etik LSM adalah pendekatan yang dipilih oleh Konsil LSM Indonesia dalam meningkatkan akuntabilitas LSM anggotanya. Mendorong terjadinya Aksi-Refleksi dari dalam jauh lebih partisipatif dan membebaskan dari sesuatu yang dipaksakan dari luar. Sejalan dengan pandangan tersebut maka transformasi nilai dan perilaku dalam mewujudkan LSM yang akuntabel adalah paradigma yang akan dikembangkan oleh Konsil LSM Indonesia.

Karena itu, kami yang berhimpun dalam dan mewakili berbagai organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat, dengan ini mengikatkan diri dalam suatu Kode Etik Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia yang telah dirumuskan dan disepakati bersama sebagai suatu perwujudan tanggungjawab kepada masyarakat, mitra dan diri sendiri.

16 Prinsip Kode Etik Konsil LSM Indonesia

  1. Non-Pemerintah
  2. Non-Partisan
  3. Anti-Diskriminasi
  4. Penghormatan terhadap HAM
  5. Keberpihakan pada Masyarakat Marginal
  6. Nirlaba
  7. Kerelawanan
  8. Keberlanjutan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
  9. Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
  10. Transparansi
  11. Partisipasi
  12. Independensi
  13. Anti Kekerasan
  14. Keadilan dan Kesetaraan Gender
  15. Pengelolaan Keuangan yang Akuntabel
  16. Kepentingan Terbaik untuk Anak

Webinar Khusus Anggota Konsil LSM Indonesia

0

Yth, Anggota Konsil LSM di seluruh wilayah,

Sebagai bagian dari mekanisme knowledge sharing Sekretariat Nasional Konsil LSM terhadap anggotanya, kami mengadakan forum webinar online yang diharapkan menjadi ruang belajar Bersama anggota Konsil LSM Indonesia.

Keberlanjutan dan resiliensi organisasi masyarakat sipil menjadi isu penting di tengah situasi kerentanan pendanaan yang terjadi saat ini. Upaya penggalian pendanaan alternatif menjadi keharusan dalam hal ini. Salah satu model pendanaan alternatif yang peluangnya tersedia saat ini adalah social contracting, terutama dalam bentuk mekanisme Swakelola Tipe III, yakni pembiayaan program atau kegiatan organisasi masyarakat sipil dari dana negara (APBN-APBD)

Belajar dari pengalaman Konsil LSM Indonesia mengembangkan program social contracting untuk isu HIV AIDS di 20 distrik, kolaborasi dengan pemerintah dapat menjadi peluang alternatif nyata. Oleh karena itu, sebagai upaya merespons kebutuhan anggota untuk ada ruang diskusi dan belajar bersama, Konsil LSM Indonesia akan mengadakan Webinar: “Swakelola Tipe III sebagai Peluang Pendanaan Alternatif OMS.” Kegiatan akan dilaksanakan pada:

Hari/Tgl : Selasa, 10 September 2024
Pukul : 13.00-15.30 WIB
Zoom Link : https://konsillsm.or.id/webinar1

Indeks Keberlanjutan OMS Indonesia (CSOSI) 2023

0

klik tombol di bawah untuk mengunduh file Laporan Indeks Keberlanjutan OMS Indonesia 2023

Diseminasi Indeks Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil (CSOSI) 2023 dan Resiliensi OMS

0

Jakarta, 5 Agustus 2024 – Ruang sipil menyempit akibat kebijakan negara, tindakan kekerasan, dan diskriminasi aparat negara terhadap organisasi masyarakat sipil (OMS) atau aktivis OMS. Advokasi yang dilakukan OMS meningkat dan secara signifikan berpengaruh pada beberapa kebijakan negara. Pelayanan kepada masyarakat dan konsituten meningkat karena munculnya inovasi-inovasi layanan. Covid-19 dan krisis juga menstimulai kreativitas OMS. Diversifikasi pendanaan mulai dilakukan oleh banyak OMS, namun belum menjawab kebutuhan eksistensi dan keberlanjutan OMS

Demikian beberapa kesimpulan penting terkait Civil Society Organization Sustainability Index (CSOSI) 2023. CSOSI 2023 ini diluncurkan secara daring oleh Konsil LSM Indonesia dan dihadiri ratusan elemen dari OMS, akademisi, dan pemerintah.

Diseminasi ini menandai langkah bersejarah Konsil LSM karena untuk pertama kalinya penyusunan CSOSI dilakukan tanpa difasilitasi oleh The International Center for Not-for-Profit Law (ICNL) dan FHI360 dengan dukungan dari USAIDS.

Sejak 2014 hingga 2021, penyusunan CSOSI diselenggarakan setiap tahunnya dengan dukungan dari FHI360-USAIDS secara serentak di sekitar 70-80 negara dengan kerja sama local partner di masing-masing negara. Dalam penyelenggaraan penyusunan CSOSI 2023, Konsil bekerjasama dengan Yayasan Penabulu dan Jejaring Lokadaya.

Bertemakan “Resiliensi OMS di Tengah Penyempitan Ruang Sipil”, diseminasi ini ingin mendorong diskusi intensif tentang kondisi OMS di Indonesia dan mencari jalan keluar untuk mempertahankan ketahanan dan keberlanjutan mereka dalam menghadapi penyempitan ruang sipil di tahun 2023.

Indeks Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil ini terdiri dari 7 dimensi dan 36 sub dimensi yang dinilai. Ketujuh dimensi tersebut mencakup lingkungan hukum, kapasitas organisasi, kemampuan finansial, advokasi, penyediaan layanan, infrastruktur sektoral, dan citra publik.

Hasil Indeks Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil 2023 yang dipaparkan Anick HT, Direktur Konsil LSM Indonesia, mengungkapkan adanya penurunan dimensi lingkungan hukum dibandingkan tahun sebelumnya, dan ada peningkatan di dimensi advokasi dan penyediaan layanan.

“Penelitian ini mengungkapkan tantangan dalam kerangka hukum, khususnya dalam peraturan nasional yang masih menganggap OMS sebagai ancaman politik, yang menghambat ruang operasional bagi OMS,” jelas Anick.

Paparan tersebut diapresiasi dan diakui oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas) yang diwakili Maharani, Perencana Ahli Madya. Ia menyampaikan temuan senada dari data Freedom in THe World 2024 yang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami sedikit perlambatan kinerja demokrasi. Hal ini sudah menjadi masukan untuk arah kebijakan terkait masyarakat sipil dalam perencanaan pembangunan nasional ada di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun  2025 – 2045.

Riza Imaddudin Abdali dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) membagi ketujuh dimensi ke dalam masalah internal dan eksternal organisasi masyarakat sipil. Dia menekankan pentingnya regulasi mandiri, tata kelola yang efektif, dan kebutuhan OMS untuk mengkomunikasikan dampak positif mereka, terutama kepada generasi muda. Resiliensi OMS tidak hanya tergantung pada keberlanjutan internal tetapi juga kemampuan untuk mendukung gerakan masyarakat sipil, terutama konstituennya, yang lebih luas.

Selain persoalan internal OMS, media juga punya andil dalam situasi ini. “Media banyak mereduksi kerja-kerja NGO tapi kita (NGO) juga harus melihat ke dalam diri kita,” respons Lusi Herlina, Komite Pengawas Nasional (KPN) Konsil LSM Indonesia periode 2022-2024. Menurutnya, ada banyak kebijakan/aturan internal NGO/OMS, seperti AD/ART, safeguarding policy, kode etik, SOP, namun pada praktiknya banyak yang tidak dijalankan secara konsisten. Persoalan kaderisasi juga menjadi hal lainnya yang perlu diperhatikan. Menurut pengamatannya, regenerasi justru sulit di lembaga-lembaga besar yang SDM-nya yang sudah memadai.

Lebih lanjut dalam konteks ruang sipil (civic space), Budi Susilo, Deputi Direktur Yayasan Penabulu menambahkan, “Ketika demokrasi mandeg, ada pihak yang ingin memajukan dan ada pihak yang ingin mendorong ke arah mundur. Oleh karena itu, resiliensi menjadi hal yang penting untuk dilihat dan didorong.”

Dalam melajukan kerja-kerja dalam ruang sipil, ia menyebutkan tiga hal yang perlu dikerjakan. Pertama, membangun pusat pengetahuan yang mengikuti perkembangan di ruang-ruang publik. Kedua, meningkatkan advokasi kebijakan, dan ketiga memperkuat suara hak-hak sipil.

Terkait hal tersebut, Bappenas mendorong agar penyusunan Indeks Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil ini dapat terus berlanjut di tahun-tahun mendatang. “Dan pengukurannya bisa lebih cepat selesai. Misalnya, di Triwulan I atau II di Mei/Juni sehingga hasilnya dapat menjadi masukan untuk mempertajam rencana kerja pemerintah,” jelas Maharani.[]

Berikut tautan Laporan Indeks Keberlanjutan OMS di Indonesia

Simak langsung paparan dan diskusi diseminasi Indeks Keberlanjutan OMS 2023 secara utuh melalui youtube kami.

Tayangan ulang diseminasi dan diskusi publik Indeks Keberlanjutan OMS Indonesia 2023

Selesaikan Sengketa secara Bijak dan Adil

0

Pernyataan Sikap Konsil LSM Indonesia

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat yang telah terbukti dalam jangka panjang mempengaruhi perbaikan kebijakan secara nyata, terutama dalam isu-isu kesehatan dan kesejahteraan perempuan dan keluarga, kesehatan reproduksi, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan sosial secara umum.

Lembaga ini juga yang memelopori gerakan Keluarga Berencana yang kemudian diadopsi oleh pemerintah sebagai kebijakan nasional dengan lahirnya BKKBN.

Penggusuran Kantor PKBI dan pengusiran paksa lembaga PKBI dari lahan tersebut pada 11 Juli 2024 yang lalu adalah tindakan kesewenangan yang tidak bisa dibiarkan. Padahal, penggunaan lahan tersebut sebagai Kantor PKBI juga melalui proses yang sah sebagai bagian dari apresiasi dan rekognisi pemerintah DKI Jakarta saat itu (Gubernur Ali Sadikin), melalui Surat Keputusan Gubernur DCI Djakarta tanggal 25 April 1970 Nomor Ad.7/2/34/70.

Eksekusi yang dilakukan tidak disertai surat eksekusi dari pengadilan. PKBI sendiri masih mengajukan peninjauan kembali atau PK di Mahkamah Agung. Selain itu, putusan pengadilan di berbagai tingkatan adalah non-executable atau tidak bisa dieksekusi.

Proses penyelesaian yang terjadi seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah (Kemenkes-Pemprov DKI Jakarta) telah bertindak gegabah dan tidak beritikad baik untuk menyelesaikan sengketa penggunaan lahan negara tersebut secara bijak. Pemerintah tidak mempertimbangkan bahwa PKBI sudah menempati kantor tersebut selama 55 tahun. Pemerintah juga tidak menunjukkan penghargaannya terhadap kiprah dan kontribusi kelompok masyarakat sipil yang merupakan elemen penting dalam pembangunan demokrasi Indonesia.

Karena itu, Konsil LSM Indonesia, perkumpulan yang beranggotakan 113 organisasi masyarakat sipil di 19 provinsi di Indonesia, menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Tindakan penggusuran tanpa surat eksekusi dari pengadilan melanggar prinsip hukum dan keadilan. Kami menuntut agar setiap tindakan yang diambil harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
  2. Kami mendesak pemerintah untuk mengakui dan menghargai kontribusi kelompok masyarakat sipil dalam pembangunan negara. Tindakan penggusuran ini menunjukkan kurangnya pengakuan terhadap kiprah PKBI dan lembaga masyarakat sipil lainnya.
  3. Kebebasan berorganisasi adalah hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Kami menuntut pemerintah untuk menghormati dan melindungi kebebasan ini, serta menghindari tindakan yang dapat menghalangi peran aktif masyarakat sipil.
  4. Kami menyerukan kepada pemerintah untuk menyelesaikan sengketa penggunaan lahan ini dengan cara yang bijak, adil, dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
  5. Kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersolidaritas dan mendukung PKBI dalam upaya mempertahankan hak dan kebebasan berorganisasi.

Untuk itu, kami menuntut pemerintah dapat segera mengambil langkah yang tepat untuk memperbaiki situasi ini dan memastikan bahwa kebebasan berorganisasi tetap terjaga di Indonesia.

16 Juli 2024

Konsil LSM Indonesia

Hotline: 0816244516

Kelemahan Aparat Penegak Hukum dalam Implementasi UU PKDRT

0

Penulis: Nadia Rosdianti

Selama kurang lebih 20 tahun, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini menunjukkan komitmen negara untuk menjamin pencegahan, penindakan, dan perlindungan bagi korban KDRT.

Namun, dalam perjalanannya, UU PKDRT menemui hambatan dalam implementasinya, sehingga menghambat efektivitas penegakan hukum dan perlindungan korban. Salah satu kelemahannya yaitu terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus tindak KDRT. 

Dilansir dari artikel Kumparanwoman, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan kapasitas aparat penegak hukum belum sepenuhnya kuat dalam memahami serta melaksanakan isi dari UU PKDRT. Proses hukum yang berjalan belum sempurna dalam mengakomodasi konteks KDRT terutama yang terjadi dalam relasi perkawinan karena masih dipandang sebagai ranah privasi. 

Dalam konteks kasus KDRT, di Yogyakarta, seorang perempuan berinisial MP menjadi korban KDRT oleh mantan suaminya, IBI. Melansir dari Harianjogja.com (19/05/19), MP mengaku mendapatkan tindak penganiayaan sejak awal membangun rumah tangga. MP mengalami mendapatkan pukulan yang menyebabkan penyempitan otak bagian kanan. Namun, ironisnya adalah pelaku hanya divonis hukuman 4 bulan penjara oleh JPU.

Pendamping dan penasihat hukum korban, Siti Roswati, menyatakan keberatan terhadap tuntutan yang dianggap tidak sebanding dengan tindak kekerasan yang dialami korban. Menurutnya, seharusnya JPU tidak memberikan tuntutan pidana yang ringan kepada pelaku. 

Keberatan Siti Roswati itu bisa dipahami, karena ketika pelaku KDRT tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, hal ini tidak hanya mencederai rasa keadilan korban, tetapi juga memberikan pesan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat ditoleransi atau bahkan diabaikan oleh sistem hukum.

Dari kasus tersebut seharusnya aparat penegak hukum memastikan bahwa regulasi yang ada benar-benar mempertimbangkan kondisi dari korban. Ini bukan hanya soal menjatuhkan hukuman yang berat, tetapi juga tentang memastikan keadilan dan perlindungan yang menyeluruh bagi korban. 

Meskipun pengesahan dan penerapan UU PKDRT telah dianggap sebagai terobosan dalam rangka memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Sayangnya, dari kasus yang ditemukan menunjukkan masih terdapat kesenjangan antara tujuan UU yang ada dengan realita di lapangan. 

Dari fenomena ini seharusnya menjadi peluang evaluasi bagi aparat penegak hukum dengan harapan tidak terulang kembali. Namun, kenyataan berkata lain. Kasus serupa juga terjadi di Kulonprogo pada tahun 2023. Seorang perempuan berinisial TA yang merupakan dokter gigi di Pengasih telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya MAA yang merupakan seorang dokter puskesmas di Kulonprogo. 

Diawali dengan TA yang memergoki suaminya, MAA alias M. Akbar Arifin yang melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain di rumahnya pada 9 Mei 2023. Kemudian, paman korban melaporkan kasus KDRT ke kepolisian hingga akhirnya berlanjut ke kejaksaan Negeri Kulon Progo, lalu kasus ini disidangkan di PN Wates. (yogyakarta.kompas.com 01/09/23)

Akhirnya, MAA menjalani sidang kasus KDRT pada agustus 2023. JPU menyebutkan bahwa perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan oleh terdakwa Akbar terhadap istrinya yaitu TA telah dibuktikan dengan hasil visum dari RSU Queen Latifa Kulonprogo.

M Akbar Arifin didakwa dengan Pasal 44 ayat 1 dan atas dugaan kekerasan fisik terhadap istrinya dan juga dijerat dengan Pasal 44 ayat 4 UU RI Nomor 23 Tahun 2004 sebagai subsider jeratan bagi terdakwa. Pada akhirnya JPU menuntut 6 bulan penjara, hal ini mendapat kritikan dari keluarga korban dan pegiat hukum karena dianggap terlalu ringan.

Baharuddin Kamba, Kadiv Humas JPW, menilai tuntutan ini preseden buruk dan menambah daftar penegakan hukum yang tidak berpihak pada korban KDRT. Tuntutan rendah ini dinilai merugikan korban. Keluarga korban berharap tuntutan diubah dan terdakwa dihukum setimpal dengan perbuatannya.

Kemunculan kembali kasus serupa terkait dengan kelemahan pada aparat penegak hukum dalam kasus KDRT di tahun 2023 ini, menjadi tamparan keras bahwa akar permasalahan KDRT masih tertanam dalam masyarakat sehingga masih banyak yang harus dibenahi.

Dalam kasus KDRT yang menimpa dokter gigi ini, penulis berasumsi bahwa kendala dalam menerapkan UU PKDRT ini yaitu pendekatan penegak hukum terhadap KDRT masih terpaku pada aspek fisik, sehingga mereka hanya menerima bukti yang terlihat. Kenyataannya, KDRT memiliki dampak ganda, yang meliputi luka fisik dan dampak pada psikis korban yang tak terlihat, hal ini seringkali diabaikan.

Hal ini terpaku pada pasal 44 ayat 4 UU RI Nomor 23 Tahun 2004, bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta.

Dalam penelitian yang ditulis oleh Ratna Batara Munti, dkk pada 2016 yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Peradilan Pidana: Analisis Konsistensi Putusan” menyatakan bahwa sebuah hukum baik dalam rumusan maupun praktek, harusnya dapat mengakomodasi pengalaman perempuan, situasi dan konteks kekerasan dimana perempuan menjadi korban serta mempertimbangkan nilai-nilai dan cara pandang perempuan. 

Sebagai akibatnya, ketika diterapkan dalam Pasal 44 ayat (4) UU PKDRT, kondisi korban seharusnya menjadi perhatian utama. Aparat penegak hukum perlu memahami lebih jauh pengalaman dan pandangan korban perempuan mengenai tingkat kekerasan yang dialaminya, terutama terkait dengan kriteria “tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan, atau kegiatan sehari-hari.” Usaha untuk menemukan dampak kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dari jenis aktivitas yang mereka lakukan. Misalnya, aktivitas sehari-hari dalam rutinitas rumah tangga bahkan dalam kegiatan sosialnya.

Maka, penting bagi aparat penegak hukum, untuk memahami seluruh dampak dari kekerasan fisik yang dialami korban karena perlakuan terdakwa. JPU seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dampak fisik pada korban, tetapi juga memberikan perhatian khusus pada dampak psikologis lainnya yang mungkin mereka alami.

Menurut Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat kendala ini harus segera diatasi, mengingat korban kekerasan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan sebagai warga negara. “Kendala belum adanya aturan pelaksana dan masih lemahnya pemahaman serta kapasitas aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat UU harus segera diatasi,” ucapnya dilansir dari sindonews (31/05/23).

Kurangnya pemahaman tentang UU PKDRT di kalangan aparat penegak hukum, dapat menyebabkan proses penanganan kasus KDRT yang tidak optimal. Hal ini dapat terlihat dari lambatnya proses penyelesaian kasus, rendahnya tingkat penjatuhan hukuman bagi pelaku, dan kurangnya sensitivitas terhadap kebutuhan korban. 

Berkaca pada kedua kasus di atas, perlu dilakukannya evaluasi dalam membenahi regulasi yang belum  sempurna. Salah satunya adalah peningkatan sumber daya aparat hukum dari segi pemahaman terhadap substansi dari UU PKDRT. Dalam hal ini, sangat penting akan kehadiran negara dalam mengakomodir jaminan perlindungan yang adil bagi korban kekerasan berdasarkan substansi dari UU PKDRT. 

Dalam hal ini, pemerintah juga perlu rendah hati untuk menggeret civil society dalam menghadapi permasalahan ini, terutama untuk mendorong pemahaman aparat penegak hukum agar lebih peka soal tindak KDRT yang bukan hanya menyangkut aspek fisik saja, tetapi hingga aspek psikis.

Pasalnya, tidak dapat kita pungkiri bahwa teman-teman civil society lebih sensitif terhadap perspektif gender. Di Yogyakarta sendiri ada Rifka Annisa Women’s Crisis Center sebagai lembaga yang berperan aktif dalam menangani kasus kekerasan perempuan. Mereka berkomitmen untuk memberikan layanan konseling psikologi, konseling hukum, dan konseling laki-laki.

Lebih jauh lagi, perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mengatasi permasalahan semacam ini melalui Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai sebuah strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Secara keseluruhan, PUG adalah cara berpikir yang telah diikuti oleh pemerintahtah, tetapi dalam implementasinya belum komprehensif masuk ke semua elemen aparatur pemerintah.

Dalam jurnal “Pentingnya Regulasi Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah Di Kabupaten Kediri” oleh Djoko Siswanto Muhartono pada tahun 2020 menyatakan bahwa masih terjadinya berbagai bentuk diskriminasi gender menunjukkan bahwa PUG sebagai strategi yang diharapkan dapat mewujudkan Pengarusutamaan dan keadilan gender belum berjalan sebagaimana mestinya.

Masih ditemukannya diskriminasi gender di tengah gencarnya strategi PUG ini menunjukkan adanya inkonsistensi dan celah lebar dalam penerapannya. Hal ini menandakan bahwa PUG belum sepenuhnya menyentuh akar permasalahan yang kuat dalam masyarakat.

Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap strategi PUG dan langkah-langkah konkret untuk memperkuat implementasinya menjadi kunci untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang sesungguhnya. Diperlukan komitmen kuat dari semua pihak, mulai dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga individu, untuk bahu-membahu dalam menegakkan kesetaraan dan keadilan gender.

Referensi:

Atmasari, N. (2019). Seorang Pria di Bantul Dituntut 4 Bulan Penjara karena Kasus KDRT, Istri Keberatan. Diakses dari: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/10/11/511/1021557/-seorang-pria-di-bantul-dituntut-4-bulan-penjara-karena-kasus-kdrt-istri-keberatan 

KumparanWoman. (2024). UU KDRT Sudah 20 Tahun Berjalan, tapi Masih Belum Efektif?. Diakses melalui: https://kumparan.com/kumparanwoman/uu-kdrt-sudah-20-tahun-berjalan-tapi-masih-belum-efektif-22vjvkhQsQ5  

Muhartono, D. S. (2020). Pentingnya regulasi pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah di Kabupaten Kediri. Publiciana, 13(2), 117-134.

Nurtjahyo, L. I., & Ramadhan, C. R. (Eds.). (2016). Kekerasan terhadap perempuan dalam peradilan pidana: analisis konsistensi putusan. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Apik atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice.

https://www.rifka-annisa.org/id

Sucipto. (2023). MPR: Kendala Proses Hukum Kasus Kekerasan Seksual dan KDRT Harus Segera Diatasi. Diakses nelalui: https://nasional.sindonews.com/read/1114265/13/mpr-kendala-proses-hukum-kasus-kekerasan-seksual-dan-kdrt-harus-segera-diatasi-1685556414 

TimsesJogja. (2023). JPW Minta Jaksa Evaluasi Tuntutan Terdakwa Dokter Pelaku KDRT di Kulonprogo. Diakses melalui: https://jogja.times.co.id/news/hukum-kriminal/q8titumaq6/JPW-Minta-Jaksa-Evaluasi-Tuntutan-Terdakwa-Dokter-Pelaku-KDRT-di-Kulonprogo#google_vignette 

Zebua, D. J & Belarminus, R. (2023). Kasus KDRT Dalam Keluarga Dokter di Kulon Progo, Berawal dari Terbongkarnya Perselingkuhan. Diakses melalui: https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/09/01/193941978/kasus-kdrt-dalam-keluarga-dokter-di-kulon-progo-berawal-dari?page=all 

RUU Penyiaran dan Kebebasan Pers di Indonesia

0

Belakangan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran masyarakat karena dirasa berpotensi membatasi kebebasan pers di Indonesia.

RUU Penyiaran adalah rancangan regulasi yang mengatur lisensi, konten siaran, perlindungan konten lokal, penyebaran informasi akurat, adaptasi teknologi digital, serta tata kelola dan pengawasan penyiaran guna menciptakan ekosistem penyiaran yang adil dan sesuai dengan perkembangan zaman. RUU ini merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan dirancang untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pembahasan RUU ini ternyata menimbulkan perdebatan sengit. Lantaran, terdapat beberapa pasal yang dinilai berpotensi membatasi independensi pers.

Independensi pers adalah persoalan penting karena mampu menentukan kualitas berita atau informasi yang disajikan tetap berimbang dan berpihak kepada kepentingan publik atau masyarakat. Untuk itu, perlindungan terhadap independensi ini juga krusial, termasuk perlindungan terhadap jurnalis dari ancaman kekerasan, intimidasi, dan tekanan.

Jeratan Terhadap Kebebasan Pers adalah Kematian bagi Kedaulatan Pers dan Demokrasi

Kekhawatiran banyak pihak atas revisi RUU ini bukan tanpa alasan. Keberadaan RUU Penyiaran nantinya akan memperluas wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melakukan pengawasan di media sosial hingga platform penyiaran digital.

Perluasan kewenangan KPI bahkan berpotensi tumpang tindih terhadap kewenangan dari Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik yang diamanatkan melalui UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Kewenangan KPI atas penyelesaian sengketa pers tentu akan menimbulkan kekhawatiran terhadap kenetralan penyelesaian sengketa, apalagi jika berhubungan dengan sengketa yang melibatkan negara. Bukan tidak mungkin akan timbul kontrol berlebih atas ruang pers di Indonesia.

Hal inilah yang juga disikapi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melalui website resmi AJI yang mengungkapkan catatan kritis terhadap revisi UU Penyiaran tersebut, yang salah satunya menyikapi tumpang tindih kewenangan ini.

Catatan tersebut mengungkapkan bahwa keberadaan RUU ini, khususnya Pasal 8A huruf q juncto Pasal 42 ayat (1) dan (2), nantinya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers serta menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik.

Pasal tersebut berunyi: “Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran” (Draft RUU Penyiaran tertanggal 27 April 2024).

Menilik bunyi pasal tersebut, keberadaan kewenangan ini tidak hanya akan menyebabkan kebingungan dalam mekanisme penyelesaian sengketa pers, namun juga terbukanya ruang-ruang intervensi berbagai pihak yang akan mengancam independensi pers. Kecenderungan tekanan atau ikut campurnya pihak tertentu dalam keputusan yang diambil KPI akan mempertaruhkan nasib kebebasan pers di Indonesia.

Selain itu, terdapat satu dari beberapa pasal yang menyita banyak perhatian yaitu Pasal 50 B ayat 2 yang memuat berbagai larangan, meliputi di antaranya isi siaran dan konten siaran terkait obat-obatan terlarang, perjudian, rokok, suatu profesi atau tokoh dengan perilaku dan gaya hidup negatif, kekerasan, mengandung unsur mistik, supranatural, perilaku LGBT, penghinaan dan pencemaran nama baik, hingga penayangan konten jurnalistik.

Secara khusus, Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) berbunyi, “Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” dalam larangan konten siaran yang disesuaikan dengan Standar Isi Siaran (SIS).

Lebih jauh, pasal tersebut juga sangat mungkin berpotensi mengkriminalisasi pers dan membatasi kerja-kerja jurnalistik dalam melaporkan informasi yang mendalam kepada publik.

Bahkan, selain menimbulkan ancaman kriminalisasi bagi pers, ketentuan ini dapat menghambat kemampuan pers untuk melakukan investigasi dan menyampaikan informasi yang penting bagi masyarakat. Regulasi semacam ini bisa mengarah pada pengekangan terhadap kebebasan pers yang selama ini dijunjung tinggi sebagai fondasi demokrasi.

Namun, TB Hasanuddin, Anggota Komisi I DPR RI melalui pemberitaan yang disampaikan Hubungan Masyarakat (Humas) DPR RI pada website EMedia.dpr.go.id (14/5/2024) menanggapi pasal ini sebagai respons atas saran pengawasan yang lebih ketat oleh KPI kepada jurnalistik investigasi yang kerap beririsan dengan materi penyidikan.

Menurutnya, hal ini membutuhkan aturan sebagai penyeimbang antara produk jurnalistik investigasi dengan pengawasan oleh KPI demi menghindari penyebarluasan informasi kepada publik yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.

“Alasannya karena kalau investigasi jurnalistik itu, misalnya ada yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, maka sebaiknya itu (ada) sedikit penyeimbang. Lalu, bagaimana materinya? Ya diatur dalam aturan KPI,” ungkap TB Hasanuddin pada Selasa, (14/5), dilansir melalui EMedia.dpr.go.id.

Padahal, produk jurnalistik investigasi dapat membantu masyarakat mengawal proses penyidikan itu sendiri. Lebih jauh, seharusnya temuan jurnalistik sendiri dilihat sebagai bahan tambahan yang dapat membantu penyidik dalam menggali informasi tambahan, bukan menjadi ancaman.

Jika memang berkaitan dengan suatu kerahasiaan, tentunya hal ini dapat diatur lebih lanjut dengan lebih jelas dan terperinci dibandingkan harus melarang segala bentuk tayangan jurnalistik investigasi yang justru membatasi kebebasan pers.

Jurnalistik Investigasi Hanya Menjadi Ancaman bagi Penguasa yang Menyembunyikan Fakta dari Publik

Jurnalistik investigasi merupakan cara kerja jurnalis dalam mengungkapkan fakta yang disembunyikan para penguasa dari publik. Kepentingan jurnalis dalam produk investigasi ditujukan untuk mengalirkan informasi penting kepada publik atas persoalan yang ditutupi.

Jurnal yang ditulis oleh Dudi Sabil Iskandar, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur di tahun 2020 bertajuk “Konstruksi Pers dalam Membangun Informasi Sehat Memperkokoh Ketahanan Nasional,” menyatakan bahwa kerja jurnalistik tidak bertentangan dengan rahasia negara karena dalam praktiknya, jurnalis investigasi dan pers pada umumnya bekerja untuk kepentingan publik.

Maka, sekalipun konten jurnalistik tersebut beririsan dengan materi penyidikan atau bahkan rahasia negara, selama persoalannya berkaitan dengan kepentingan publik, kerja-kerja jurnalistik tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dan dijerat menggunakan pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi pers.

Ini membuktikan bahwa keberadaan pasal pelarangan penayangan jurnalistik investigasi dengan dalih kekhawatiran terhadap informasi yang beririsan dengan materi penyidikan kurang tepat dan perlu dikaji ulang.

Pasalnya, pengungkapan fakta atas informasi yang mampu disajikan dari kerja jurnalistik investigasi di Indonesia sering kali mendapatkan atensi dan kepercayaan publik yang lebih baik dibandingkan hasil investigasi yang disampaikan oleh pihak berwajib. Bahkan, tak jarang informasi yang dapat dihadirkan lebih cepat dan dapat diakses publik dengan leluasa.

Salah satu produk jurnalistik investigasi yang sempat menyita banyak perhatian adalah video investigasi yang disajikan oleh Narasi Newsroom melalui kanal Youtube resminya pada 14 Oktober 2022 silam. Dalam video investigasi bertajuk “Investigasi Visual Peristiwa Kanjuruhan, Momen-Momen Brutal Menjelang Kematian Massal,” yang menguak fakta dari peristiwa yang terjadi saat tragedi Kanjuruhan.

Tragedi Kanjuruhan merupakan tragedi yang terjadi pada 1 Oktober 2022, di Stadion Kanjuruhan, Malang Jawa Timur setelah berlangsungnya laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Kejadian ini menjadi tragedi karena, laga tersebut menewaskan setidaknya 135 orang akibat kepanikan massal dari gas air mata dan penonton yang berdesakan untuk keluar dari stadion berdarah tersebut.

Satu hari setelah kejadian tersebut, Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta dalam pemberitaan yang dilakukan oleh Liputan.com pada, (2/10/2022) menyampaikan bahwasannya alasan gas air mata yang dilepaskan oleh aparat yang bertugas di tempat dikarenakan situasi tak terkendali akibat penonton mulai turun ke lapangan.

Dalam pemberitaan yang sama, Nico juga menyampaikan tragedi tersebut dipicu penonton yang panik dan berdesakan keluar stadion yang hanya berfokus pada satu titik pintu, yaitu pintu 12 sehingga terjadi penumpukan.

“Mereka pergi ke satu titik di pintu 12 kemudian ada penumpukan dan di sana (menyebabkan) kekurangan oksigen, sesak napas. Tim medis di dalam stadion berupaya menolong,” ungkap Nico atas tragedi tersebut.

Di sisi berlainan, laporan investigasi yang diungkapkan oleh Narasi justru menemukan bahwasannya penembakan gas air mata sengaja ditujukan ke arah tribun, meskipun kerusuhan penonton yang tidak terima atas hasil pertandingan berada di lapangan.

Menggunakan metode crowd source (sumber kerumunan), Narasi dalam investigasinya merunut kejadian tersebut berdasarkan keterangan waktu dan dari berbagai titik. Temuan ini juga berhasil mengungkap bahwasannya penonton hanya terfokus pada satu titik akibat gas air mata yang diarahkan ke pintu keluar dan pintu-pintu lain yang tertutup.

Melihat dari fakta yang mampu diungkapkan Narasi dalam investigasinya, produk jurnalis investigasi di sini justru mampu membantu penyidikan kepolisian dalam menentukan langkah hukum yang tepat ke depannya.

Kumpulan fakta tersebut menjadi informasi yang berhak diketahui publik, dan bukan merupakan ancaman terhadap proses penyidikan yang terjadi. Fakta ini justru dapat menjadi bukti pentingnya produk jurnalistik investigasi dalam menghadirkan fakta yang ditutupi atau berusaha ditutupi dari publik.

Fakta yang didapatkan oleh produk jurnalis investigasi seperti yang dilakukan oleh Narasi juga dilihat lebih mampu menjawab rasa keadilan publik, terutama keluarga korban. Hal ini nampak pada terkuaknya fakta lapangan yang menguak kesalahan aparat bertugas pada saat kejadian, yang berbanding terbalik dengan “fakta” yang disampaikan oleh pihak aparat dalam menanggapi tragedi tersebut.

Melihat betapa pentingnya kehadiran produk jurnalistik investigasi, jeratan pelarangan penayangan jurnalistik investigasi dengan dalih produk tersebut mengancam materi penyidikan, perlu dipertimbangan ulang oleh pemerintah dalam perumusan RUU penyiaran yang melindungi pers dan mengakomodasi kerja-kerja pers yang independen dan produk jurnalistik yang mencerdaskan publik.

Negara justru harus mengakomodir kebebasan pers yang dilindungi dan menghadirkan ruang kondusif bagi jurnalistik untuk berkembang demi menghadirkan informasi dan keterbukaan kepada publik atas kinerja dan persoalan negara. Keterlibatan publik terhadap persoalan negara adalah bentuk partisipasi politik di negara yang menjunjung tinggi demokrasi.


Referensi:

Draft RUU Penyiaran tertanggal 27 April 2024

Aji.or.id (16 Mei 2024). REVISI UNDANG-UNDANG PENYIARAN: Melanggengkan Kegemaran Negara dalam Membatasi Kebebasan.

EMedia.dpr.go.id (14 Mei 2024). TB Hasanuddin Sampaikan Latar Belakang Munculnya Polemik Jurnalistik Investigasi di RUU Penyiaran.

Dudi Sabil Iskandar. (15 Agustus 2020). Jurnal.lemhannas.go.id. Konstruksi Pers dalam Membangun Informasi Sehat Memperkokoh Ketahanan Nasional.

Liputan6.com (2 Oktober 2022). 6 Pernyataan Polisi Terkait Tragedi Kanjuruhan Malang Usai Laga Arema Vs Persebaya.

Nasionaltempo.co (16 Mei 2024). Inilah Pasal-pasal di RUU Penyiaran yang Memicu Persoalan Kebebasan Pers.

NarasiNewsroom (14 Oktober 2022). Youtube.com. Momen-Momen Brutal Menjelang Kematian Massal | Buka Mata.

Penting! Advokasi di Swakelola Tipe III

0

Jakarta (10/1/2024). Advokasi menjadi bagian yang sangat penting ketika para OMS sudah mengawal dari bawah (musrenbang desa), tetapi tiba-tiba DPA (Daftar Pelaksanaan Anggaran) tersebut hilang di tingkat yang lebih tinggi. Ini biasanya terjadi karena kalah prioritas di musrenbang tingkat atas. Maka dari itu penting kiranya melakukan advokasi dengan OPD terkait.

Perbincangan hangat mengenai advokasi tersebut menjadi topik utama pada pertemuan ketiga dalam pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Melalui Skema Swakelola Tipe III. Pertemuan ini merupakan kerjasama Lokadaya dan Konsil LSM Indonesia serta didukung oleh Canada Fund for Local Initiatives (CFLI).

Perlu dipahami dalam advokasi harus diawali dengan pemahaman mengenai pendekatan perencanaan pembangunan daerah. Pendekatan tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu secara politik, teknokratik dan partisipatif. Pendekatan politik menyangkut visi misi kepala daerah di dalam dokumen perencanaan anggaran daerah. Lalu secara teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Pendekatan terakhir adalah partisipatif,yang mana pendekatan ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan (musrenbang).

Dalam melakukan advokasi, penting kiranya OMS memahami alur rencana kerja RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah), karena banyak OMS hanya mengandalkan musrenbang tetapi tidak mengawal atau melakukan advokasi sampai tingkat atas. Oleh karena itu, OMS biasanya kehilangan jejak di tahap tersebut. Untuk merancang RKPD ini, OPD biasa melakukan kompromi dengan mempertimbangkan kebijakan strategis dan pokir (pokok pikiran) anggota DPRD.

Advokasi yang bisa OMS lakukan adalah pemilahan kriteria barang jasa yang bisa efektif ditempatkan dalam Swakelola Tipe III. Banyak sekali ditemukan miss tagging atau salah penandaan Swakelola Tipe III tetapi isi paketnya tidak sesuai bila dikerjakan oleh OMS, seperti bidang konstruksi pembangunan jembatan, jalan dan lain-lain. Begitu juga sebaliknya, banyak yang seharusnya bisa dijadikan Swakelola Tipe III tetapi dalam SIRUP (sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) tertulis sebagai Swakelola Tipe I. Oleh sebab itu, paket yang ditandai sebagai Swakelola Tipe I, harus kita advokasi agar dijadikan Swakelola Tipe III yang lebih irit, efisien dan efektif. Jadi OMS harus memantau SIRUP dan juga memahami alur tahapan Swakelola untuk melakukan lobi dan advokasi terhadap akses Swakelola Tipe III tersebut.

Anick HT selaku Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia menyampaikan porsi Swakelola Tipe III memang sangat kecil dalam APBD, dimana banyak pula OPD yang tidak menampilkan Swakelola Tipe III. Di tahun 2022 saja ada sebanyak 119 kabupaten/kota tidak menggunakan Swakelola Tipe III dalam pengadaannya (Data dari SIRUP)

Menurut Anick, OMS akan memiliki posisi yang setara dengan OPD dalam Swakelola Tipe III. “Mungkin selama ini ada yang merasa dianggap seperti pengemis bila mendatangi OPD”, terangnya.

Dalam Swakelola Tipe III ini kedudukan OMS adalah sebagai penyedia. Berbeda dengan hibah, yang mana OPD berkedudukan sebagai pemberi dana dan OMS dianggap sebagai organisasi yang membutuhkan dana. Dalam Swakelola Tipe III anggapan seperti itu tidak berlaku. Jadi OMS bisa lebih percaya diri dalam melakukan advokasi dengan OPD.

Dalam hal ini, advokasi menjadi penting agar OPD menyadari bahwa OMS dibutuhkan sebagai penyedia, sekaligus berguna bagi OMS untuk memperkenalkan diri sebagai patner yang dibutuhkan.

Rekaman seri webminar dan diskusi ini dapat anda simak secara lengkap di kanal Youtube https://youtube.com/@LOKADAYA atau di bagian lain dari website ini. (*ari)

*tulisan ini dimuat ulang dari lokadaya.id untuk kepentingan Pendidikan.