BerandaBerita InternalFPMS Gugah Posisi dan Peran OMS

FPMS Gugah Posisi dan Peran OMS

Forum Penguatan Masyarakat Sipil
Khalisah (Walhi), Arief Rahmadi (Dompet Dhuafa), Sri Indiyastutik (YAPPIKA), Desiana (IPC) dan Hamid Abidin (PIRAC)

Menjelang pemilihan presiden 9 Juli mendatang, beberapa organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bergiat mendorong penguatan sektor masyarakat sipil di Indonesia menggugah posisi dan peran OMS di kepemimpinan nasional yang baru mendatang.  Beberapa OMS tersebut tergabung dalam Forum Penguatan Masyarakat Sipil (FPMS) yang terdiri dari Dompet Dhuafa, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA), Indonesia Parliamentary Center (IPC), Konsil LSM Indonesia, PIRAC, Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan YAPPIKA. Dalam konferensi pers nya di Jakarta, Kamis (3/7) lalu, Sri Indiyastutik dari YAPPIKA menegaskan bahwa OMS di Indonesia memiliki posisi dan peran penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun pengakuan terhadap keberadaan, dukungan terhadap optimalisasi peran, dan cara pandang terhadap posisi OMS selama ini masih timpang dibandingkan sektor lainnya. “Forum Penguatan Masyarakat Sipil menantang presiden baru agar memperhatikan sektor OMS,” ujar Tutik. OMS telah berkontribusi positif dan signifikan terhadap kemajuan, keberadaban, dan kesejahteraan masyarakat maupun kehidupan bernegara. Misalnya, pertama, OMS mampu menggerakkan jutaan relawan untuk mengatasi dampak dan bencana ekologis, penyelamatan lingkungan dan persoalan lainnya. Sebagai ilustrasi, jumlah relawan bencana yang tercatat di BNPB, Kementerian Sosial dan PMI mencapai 150.000 orang, relawan yang tergabung dalam Sahabat Walhi kurang lebih 5,000 orang tersebar di seluruh Indonesia. Kedua, OMS berkontribusi dalam penyediaan pelayanan pelayanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi usaha kecil, penyantunanmasyarakat terlantar melalu panti asuhan dan panti jompo. Misalnya, Persyarikatan Muhammadiyah melayani kesehatan masyarakat melalui 457 fasilitas kesehatan (rumah sakit, rumah bersalin, BKIA, dll); pelayanan pendidikan di 10.452 fasilitas pendidikan (tingkat TK, SD, SMP, SMA, PT, pesantren, SLB), serta penyantuan masyarakat terlantar di 454 panti asuhan, panti jompo, pusat rehabilitasi). Ketiga, OMS juga mampu menggerakkan kedermawanan masyarakat (filantropi) melalui sumbangan individu yang potensinya mencapai Rp 12,3 trilun per tahun, penyaluran zakat yang mencapai Rp 3 triliun pada tahun 2013 dan Waqaf yang potensinya mencapai Rp 20 triliun/tahun. Jumlah ini akanbertambah besar jika kita memasukkan potensi sumbangan dari komunitas non muslim, seperti persepuluhan, kolekte, APP (aksi puasa pembangunan), Punia, Darma, dan bentuk sumbangan keagamaan lainnya. Bahkan organisasi dari kelompok marginal sekalipun, seperti Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) secara konsisten, sejak tahun 1966, telah turut berpartisipasi dalam program pemberdayaan bagi lebih dua juta masyarakat tunanetra di Indonesia. Keempat, OMS dinilai berkontribusi besar dalam mendorong perubahan-perubahan yang bersifat strategis, khususnya yang terkait dengan kebijakan Negara. Misalnya, OMS terlibat aktif dalam mendorong lahirnya kebijakan yang menjamin dan melindungi partisipasi masyarakat (UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik/ KIP, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup); kebebasan pers (UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers), hak asasi manusia (ratifikasi sejumlah konvensi HAM internasional, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban), penguatan peran perempuan (affirmative action perempuan di legislatif, perencanaan penganggaran responsif gender (PPRG)). OMS juga telah berkontribusi pada tata kelola pemerintahan yang baik, seperti gerakan anti korupsi dan mendorong kebijakan anti korupsi (UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di dalamnya termasuk pembentukan KPK), reformasi hukum dan peradilan (misalnya pengawasan dan penguatan Komisi Yudisial), pengelolaan SDA (uji materi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berhasil memandatkan kewajiban partisipasi masyarakat dalam penentuan wilayah pertambangan). OMS juga banyak melakukan pemberdayaan perempuan, seperti perempuan kepala keluarga, pemberdayaan politisi dan politik bagi bagi perempuan, pemberdayaan kelompok-kelompok ekonomi usaha kecil, kesehatan reproduksi, kaderisasi aktivis perempuan, dll. Namun, sederet bukti kontribusi OMS tersebut di atas tampaknya belum menggugah kesadaran penyelenggara negara untuk mengakui dan menempatkan OMS sebagai pilar penyangga kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Alih-alih melakukan penguatan dan memberikan ruang agar mereka berperan optimal, negara malah cenderung membatasi ruang gerak OMS dan menganggap OMS adalah sekelompok warga yang seringkali ‘mengganggu’ eksistensi dan kerja pemerintah. Forum Penguatan Masyarakat Sipil mencatat ada 4 (empat) hal yang membuktikan kecenderungan tersebut. Pertama, Penerbitan sejumlah regulasi yang membelenggu OMS karena kekeliruan paradigma pemerintah yang melihat OMS sebagai ancaman bagi negara. Misalnya melalui pengesahan UU No. 17/2013 tentang Ormas dan Permendagri No. 33/2012.Kebijakan terkait pendaftaran OMS cenderung menjadi birokratis dan panjang prosesnya.Selain itu, ada kerancuan peran dalam beberapa kebijakan terkait OMS di mana pemerintah berperan sebagai regulator, implementor dan pengawas (UU dan PP Zakat serta UU, PP dan SK Kemensos mengenai PUB/ pengumpulan uang dan barang). Kedua, tidak ada insentif dalam kebijakan terkait OMS. Misalnya, Pemerintah hanya mewajibkan OMS mendaftar ke sejumlah instansi pemerintah tanpa disertau insentif dalam bentuk kemudahan pendaftaran, insentif dalam bentuk tax excemption (pengecualian pajak) dan tax deduction (pemotongan pajak), dan insentif lainnya.Insentif pajak yang saat ini diberikan bagi donatur OMS sifatnya terbatas dan diskriminatif. Insentif hanya berlaku pada program tertentu dan organisasi tertentu (misalnya, hanya berlaku bagi organisasi zakat yang bersifat nasional dan diakui pemerintah). Ketiga, partisipasi masyarakat masih dalam tataran prosedural, partisipasi belum tepat sasaran, dan tidak terukur. Misalnya tingkat partisipasi masyarakat di sektor pertambangan masih pada tingkat manipulatif (hasil penelitian Walhi di tiga wilayah, 2013). Selain itu tindakan kriminalisasi dan kekerasan sering terjadi terhadap upaya partisipasi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam  proses kebijakan. Untuk fakta terakhir ini, misalnya terjadi pada kasus perkebunan sawit antara lain di Sulteng, Kalbar,Bali, Sumsel;sementara itu di Malang, masyarakat digugat oleh perusahaan dengan ganti rugi sebesar Rp 30 Milyar. Keempat, masih terbatasnya akses informasi bagi OMS untuk berperan dalam pembangunan sosial.Adanya UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) merupakan kemajuan, namun implementasinya masih setengah hati. Hal ini dapat dilihat dari UU KIP belum mampu mengubah cara kerja birokrasi yang masih dalam kultur tertutup: tidak mematuhi keputusan Komisi Informasi, tidak membuka informasi karena alasan rahasia negara. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan UU ITE yang mengancam kebebasan menyampaikan pendapat di media elektronik dan cyber. Kini, momentum pergantian kepemimpinan bangsa tahun 2014 merupakan titik krusial bagi masyarakat sipil untuk menantang pemimpin baru yang akan terpilih nanti. Bagaimana proyeksi sikap mereka terhadap sektor OMS di Indonesia? Hasil analisa terhadap visi misi dua pasangan Calon Presiden menjadi catatan penting. FPMS mengapresiasi visi misi para calon (berdasarkan dokumen versi yang diserahkan ke KPU) yang memberikan ruang terhadap partisipasi masyarakat. Visi misi Parbowo-Hatta memuat peningkatan peran organisasi akar rumput seperti PKK dan Posyandu; melindungi rakyat dari berbagai bentuk diskriminasi, gangguan dan ancaman, menjunjung tinggi HAM; serta menciptakan kepastian dan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan adil. Visi misi Jokowi-JK memuat beberapa hal, yaitu perlindungan dan keterlibatan masyarakat adat; termasuk menghapuskan regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan termasuk perempuan, anak, masyarakat adat, penyandang disabilitas; partisipasi publik dalam proses pembuatan, implementasi dan pengawasan kebijakan publik dan kontrol publik untuk mengontrol pemerintah dalam mendorong good governance; pendidikan politik; pemberdayaan perempuan dan sektor akar rumput; partisipasi masyarakat dalam pengawasan anti korupsi dan penegakan hukum; menentang kriminalisasi terhadap penuntutan kembali hak masyarakat. Namun, visi misi kedua pasangan Calon Presiden tidak secara jelas memberikan dukungan terhadap: 1) Sumber daya bagi penguatan OMS, 2) jaminan regulasi dan struktur pendukung lainnya dalam penggalangan dan pengelolaan dana publik yang dilakukan oleh OMS, 3) pengakuan keberadaan dan perlindungan OMS dari regim pendaftaran yang mudah, penuh insentif, tidak diskriminatif dan tidak dengan paradigma politik dan keamanan; 4) Perlindungan terhadap data pribadi individu dan kebebasan berpendapat di ruang publik (elektronik maupun cyber). Berdasarkan kajian tersebut, FPMS menyeru kepada presiden terpilih untuk:

  • Pemerintahan baru harus melihat OMS sebagai sektor yang memiliki peran signifikan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara seharusnya mendorong lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya peran dan kontribusi OMS, sebagai bagian dari penguatan bangunan demokratisasi di Indonesia.
  • Negara cenderung akan mengatur OMS dengan ketat (misalnya munculnya UU Ormas, Permendagri No. 33/2012, RUU LSM yang sudah masuk Prolegnas). Merespon hal ini, negara harus menumbuhkan lingkungan (enabling environment) yang kondusif bagi OMS untuk memastikan kebebasan mereka dalam mengatur kebijakan internalnya sendiri (internal regulation). Negara tidak seharusnya menerapkan regulasi eksternal berupa sejumlah kebijakan pembatasan peran dan tumbuhnya entitas OMS.
  • Di mata dunia internasional, Indonesia pasca reformasi dinilai sebagai negara yang memiliki iklim demokrasi yang cukup maju karena terbukanya partisipasi masyarakat dan kebebasan berpendapat, politik (demokrasi prosedural), pers. Situasi ini terjadi karena peran masyarakat sipil yang mengisi reformasi dengan partisipasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ke depan, pemimpin baru harus menjamin situasi ini dengan mencabut dan menata ulang aneka kebijakan bagi OMS.
  • Dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan terkait OMS, Pemerintah harus konsisten pada perannya sebagai regulator dan pengawasan serta tidak lagi terlibat dan bertindak sebagai implementor/ pelaksana, khususnya dalam kebijakan yang berkaitan dengan sumber daya dan pendanaan OMS (UU Zakat dan UU PUB). Dengan demikian, pemerintah tidak terkesan sebagai kompetitor dan berebut sumber daya dengan OMS.

Baca Lainnya

Anggota Kami

Yayasan BITRA Indonesia (Bina Keterampilan Pedesaan)

Jl. Bahagia by Pass, No. 11/35, Medan, Sudirejo 1, 20218

Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

Jl. Pangkalan Jati No. 71 Cinere Depok

Artikel Terkait

Kelemahan Aparat Penegak Hukum dalam Implementasi UU PKDRT

Penulis: Nadia RosdiantiSelama kurang lebih 20 tahun, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun...

RUU Penyiaran dan Kebebasan Pers di Indonesia

Belakangan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Hal ini dipicu oleh...

Penting! Advokasi di Swakelola Tipe III

Jakarta (10/1/2024). Advokasi menjadi bagian yang sangat penting ketika para OMS sudah mengawal dari...

Ini Hasil Survey Organisasi Masyarakat Sipil di 35 Provinsi

(Eksistensi organisasi mengacu kepada prasyarat dasar organisasi seperti legalitas, struktur, laporan keuangan dan kegiatan)Liputan6.com,...