BerandaArtikelAkuntabilitas LSM: Sebuah Debat Terbuka

Akuntabilitas LSM: Sebuah Debat Terbuka

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

“Who Guards The Guardian?” Begitu ungkap Kumi Naidoo, Direktur CIVICUS: World Alliance for Citizen Participations, ketika menulis soal Akuntabilitas Masyarakat Sipil.

Kegelisahan Kumi, adalah kegelisahan banyak LSM di seluruh dunia, termasuk di Africa Selatan, tempat dimana CIVICUS tumbuh. Begitu pula di Indonesia. Pasca Soeharto, ribuan organisasi, menamakan dirinya LSM tumbuh bak cendawan di musim hujan. Kadang tak banyak yang kenal siapa mereka dan untuk apa mereka didirikan. Tak heran kalau kemudian banyak yang menempelkan label dari mulai LSM supermarket, yang melayani semua permintaan donor, sampai LSM plat merah yang spesialis melayani kepentingan pemerintah. Bagi banyak organisasi yang sungguh-sungguh bekerja dengan misinya, hal ini seringkali mengganggu. Karena LSM sesungguhnya bekerja berdasarkan mandat yang disepakati bersama, yang termaktub jelas dalam visi-misinya. Jadi hampir tidak mungkin ada organisasi yang bisa melayani semua kepentingan dari mulai soal kesehatan misalnya, sampai pertanian. Disisi lain, dalam konteks sosial politik, LSM yang mewakili masyarakat sipil, seyogyanya bisa menjadi penyeimbang dari kelompok pemerintah dan sektor bisnis, bukan melayani satu atau kedua kelompok tersebut.

LSM kemudian masuk ke dalam fase “tantangan legitimasi” dan munculah tuntutan agar LSM lebih akuntabel. Sayangnya, akuntabilitas, oleh banyak pihak kemudian dimaknai secara sempit, -termasuk oleh pemerintah, kalangan bisnis bahkan terkadang oleh LSM sendiri-, hanya sebatas pertanggungjawaban laporan keuangan. Padahal esensi dari akuntabilitas sesungguhnya adalah memastikan bahwa yang dikerjakan oleh organisasi tersebut sesuai dengan mandat yang diembannya, dan sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat yang direpresentasikannya, atau di’klaim’ direpresentasikannya.

Berangkat dari sana, akuntabilitas LSM kemudian bisa dilihat sebagai pertanggunggugatan ‘keatas’, biasanya untuk donatur, lembaga donor, pemerintah atau pihak lain yang diajak bekerjasama, pertanggungjawaban ‘ke bawah’, kepada kelompok komunitas, konstituen atau kelompok lain yang menjadi penerima manfaat. Akuntabilitas LSM kemudian juga bisa dilihat dari sisi eksternal, kebutuhan untuk memenuhi standar tertentu (standar donor, misalnya), dan juga dilihat dari sisi internal, yang lebih mengedepankan bagaimana upaya memenuhi misi dan tujuan yang ditetapkan organisasi. Sayangnya, seringkali kita menemukan banyak organisasi yang kemudian menyimpang dari misi dan tujuannya, serta melupakan akuntabilitas kepada penerima manfaat programnya.

UU Yayasan yang digagas oleh pemerintah, memang mendorong proses transparansi sebuah organisasi kepada publik. Namun, yang dilupakan justru UU ini tidak mendekatkan organisasi kepada komunitas yang diwakilinya, justru semakin memperkuat anggapan bahwa LSM adalah sebuah entitas privat yang berdiri sendiri, tanpa harus memperhitungkan konstituen yang diwakilinya. Dengan kata lain, UU ini tidak juga serta merta menawarkan jawaban atas akuntabilitas yang seharusnya diemban sebuah LSM.

Apa yang telah dilakukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas LSM

Penting rasanya untuk menggarisbawahi bahwa isu legitimasi dan akuntabilitas LSM memang penting dan layak diperdebatkan. Tujuannya, untuk mendorong agar LSM bekerja lebih efektif dan kredibilitasnya layak diacungi jempol. Dan meski tidak mudah membangun efektifitas kerja dan kredibilitas yang baik, namun hal tersebut tidaklah serumit yang dipikirkan orang. Ada banyak cara untuk meningkatkan akuntabilitas. Dari mulai publikasi laporan tahunan, sampai metode partisipasi yang bisa dipraktekan dari mulai perencanaan sampai pada evaluasi. Teknologi terkini juga menyediakan banyak alat untuk membuka ruang partisipasi publik, dan mendorong komunitas merasa ikut memiliki dan membangun organisasi yang mewakilinya.

Di banyak tempat, termasuk Indonesia, mekanisme akuntabilitas yang dilakukan juga beragam. Baik ke atas maupun ke bawah, baik eksternal maupun untuk internal. Diantaranya adalah:

Mekanisme Pengaturan-Diri (Self Regulating)

Ide dibalik mekanisme pengaturan diri adalah LSM harus secara aktif terlibat dalam mempromosikan seperangkat nilai dan norma dalam rangka memelihara reputasi, profesionalisme, dan etika perilakunya. Di Indonesia pernah digagas oleh LP3ES dengan membentuk jaringan NGO di berbagai kota. Di daerah lain, metode ini juga mulai dikembangkan. Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM) di Padang, juga mengembangkan mekanisme serupa bagi 11 anggotanya.

Seperangkat Dewan Pengarah & Pengawas yang efektif

Struktur ini mengadopsi struktur bisnis yang biasanya memiliki satu elemen yang beranggotan orang diluar organisasi yang bekerja sesuai dengan prosedur yang sangat jelas dan transparan. Wewenang yang diembannya relatif bervariasi, namun elemen ini diharapkan bisa mengawal organisasi dari konflik kepentingan anggotanya, sekaligus memastikan bahwa organisasi bekerja sesuai dengan nilai, misi, dan visi yang dimandatkan. Di Indonesia, UU Yayasan, memilih bentuk ini sebagai cara untuk memastikan akuntabilitas LSM.

Standar Pelaporan Kepada Publik

Di beberapa negara, standar ini menjadi kewajiban sesuai dengan UU yang berlaku. Namun di banyak negara, termasuk Indonesia, konsep ini diadopsi secara sukarela. LSM kemudian menerbitkan laporan tahuan, evaluasi organisasi atau proyek yang sedang di kerjakan, publikasi strategic planning dan media informasi reguler lainnya, seperti newsletter, yang bisa menyediakan saluran bagi publik untuk mengetahui kerja organisasi, kinerja keuangannya, struktur organisasi dan dampak atas program yang dikerjakannya.

Mekanisme Konsultasi dan Partisipatif

Mekanisme memungkinkan pelibatan yang aktif dari berbagai konstituen termasuk penerima manfaat di berbagai tahapan kerja organisasi, dari mulai perencanaan sampai kepada evaluasi. Hal ini relatif jarang ditemui menjadi common practices LSM di Indonesia.

Penutup
LSM bukanlah Pemerintah dan Swasta yang memiliki kapasitas lebih untuk melengkapi dirinya dengan seperangkat struktur canggih, dengan sumber daya professional yang sesuai dengan kapasitasnya. Jadi, tidak layak rasanya jika LSM dituntut memiliki standar sesempurna pemerintah dan swasta, karena pada dasarnya LSM, adalah organisasi yang didirikan oleh mereka yang memiliki keprihatinan. Tak heran dari self assessment 204 organisasi di 9 propinsi di Indonesia, terlihat umumnya LSM memiliki seperangkat misi dan visi yang kuat, bahkan nyaris ideal, namun masih lemah dalam aspek-aspek manajemen organisasi lainnya. Kelemahan ini tentunya bukan sesuatu yang disengaja. Mengingat perannya yang signifikan dalam mendorong perubahan, maka sudah saatnya kita semua bekerja bersama, memampukan LSM sehingga bisa bekerja lebih optimal, efisien dan yang terpenting efektif sesuai dengan yang dicita-citakan.

Sumber: Tifa

Baca Lainnya

Anggota Kami

F A K T A – Forum Analisis Kketerwakilan dan Transparansi...

Komp. Pertokoan Nusa Indah Plaza D 11 – KALBAR,

Yayasan SHEEP Indonesia

Jl. Bimo Kurdo No.11, Sapen, Demangan, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55221

Lembaga Masyarakat Indonesia Hijau

Artikel Terkait

Selesaikan Sengketa secara Bijak dan Adil

Pernyataan Sikap Konsil LSM IndonesiaPerkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) adalah salah satu lembaga swadaya...

Kelemahan Aparat Penegak Hukum dalam Implementasi UU PKDRT

Penulis: Nadia RosdiantiSelama kurang lebih 20 tahun, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun...

RUU Penyiaran dan Kebebasan Pers di Indonesia

Belakangan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Hal ini dipicu oleh...

Penting! Advokasi di Swakelola Tipe III

Jakarta (10/1/2024). Advokasi menjadi bagian yang sangat penting ketika para OMS sudah mengawal dari...