BerandaBerita UmumBagaimanakah LSM melakukan advokasi terhadap praktik bisnis yang melanggar HAM?

Bagaimanakah LSM melakukan advokasi terhadap praktik bisnis yang melanggar HAM?

Kemajuan ekonomi dan kemakmuran rakyat suatu negara tidak pernah terlepas dari bisnis, semakin besar dan massif aktivitas bisnis maka akan berdampak pada besarnya sirkulasi uang dan penyerapan tenaga kerja, yang pada akhirnya meningkatkan taraf hidup bagi pelaku usaha, pemasok dan pekerja. Namun, dalam praktiknya bisnis dapat diibaratkan dua sisi mata uang. Bisnis dapat memberikan dampak kesejahteraan, namun bisnis jika dikelola dengan tidak terkontrol juga memilik dampak buruk, dalam banyak hal bisnis memiliki korelasi erat dengan kekuasaan, yang berakhir pada penindasan dan perampasan Hak Asazi Manusia.

Berbeda dengan negara maju yang mengandalkan industri manufaktur dan jasa skala besar sebagai penggerak ekonominya, di negara berkembang seperti Indonesia sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) memiliki peran sentral sebagai penggerak roda perekonomian. Menurut Badan Pusat Statistik, usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia merupakan entitas bisnis yang memiliki peranan besar dalam perekonomian nasional. Sektor UMKM berkontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 59.08% dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 97.16%. Kendatipun memiliki peranan yang signifikan dalam perekonomian Indonesia, namun perhatian pemerintah dan bisnis besar pada UMKM masih terbatas. Di tingkat Asia Pacific, menurut catatan Dewan Penasehat Bisnis Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC Busines Advisory Council/ABAC), pelaku UMKM selama ini menyumbang 97% terhadap pangsa bisnis dunia dan telah mempekerjakan sekitar 60% tenaga kerja di negara-negara APEC. Selain itu, UMKM juga berkontribusi sekitar 35% terhadap ekspor kawasan.

Sayangnya, meski memiliki peran yang besar dalam membangun ekonomi nasional. masih banyak regulasi dan peraturan di sejumlah negara yang tidak berpihak pada UMKM salah satunya adalah peraturan mengenai perdagangan berbasis elektronik atau e-commerce. Pada saat yang sama, di tingkat global, bisnis (termasuk UMKM) sedang didorong agar mulai mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM dengan menerapkan Prinsip-Prinsip Panduan dalam praktek usahanya. Dalam kaitan dengan hal ini, kelompok UMKM ini penting sekali diintervensi mengingat besarnya peran mereka dalam ekonomi nasional dan berkontribusi pada kondisi regional dan global.

Untuk mengisi ruang yang belum digarap tersebut, Konsil LSM Indonesia sebagai sebuah koalisi LSM memilih untuk memfokuskan edukasi prinsip-prinsip Bisnis dan HAM pada UMKM. Di samping itu, hal lain yang penting adalah keyakinan bahwa intervensi pengarusutamaan UNGPs di sektor UMKM akan memberi dampak luas dalam perbaikan penerapan Bisnis dan HAM di masa depan, mengingat UMKM memiliki serapan tenaga kerja yang sangat besar dan kontribusinya yang signifikan pada PDB. Untuk itu, pilihan ini menjadi sangat beralasan meski disadari betul bahwa mendorong penerapan UNGPs di UMKM membutuhkan proses yang berbeda dari perusahaan besar karena faktanya UMKM umumnya belum memberlakukan standar pengupahan sesuai ketentuan, masih banyak melibatkan pekerja anak, dan belum memahami pencegahan dan penanganan pencemaran lingkungan sebagai dampak dari proses produksi.

Dengan demikian, edukasi dan advokasi yang dilakukan oleh Konsil LSM utamanya untuk mendorong implementasi UNGPs di UMKM dengan menyasar target-target utama yaitu:

Berdasarkan aspek-aspek diatas, Konsil LSM Indonesia dengan dukungan dari ICCO Cooporation menginisiasi penyusunan Modul Training Mendorong Bisnis yang Bertanggung Jawab di UMKM – Meningkatkan Pemahaman atas Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs on Business and Human Rights) dan Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM.

Konsil LSM Indonesia melihat bahwa LSM memiliki peran yang strategis dalam mengedukasi pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah dalam menerapkan praktik-praktik bisnis yang ramah dan menghormati HAM. Sebagai contoh, pada sektor industri kelapa sawit memiliki instrument RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), dimana pada istrumen tersebut LSM menjadi pihak yang mengawasi dan melakukan evaluasi terhadap praktik-praktik bisnisnya untuk memastikan tidak ada pelanggaran HAM di perusahaan tersebut, sehinggat sertifikat dapat diberkikan untuk dapat masuk di pasar Eropa.

Jika melihat konteks industri kelapa sawit, penerapan standarisasi praktik-praktik industri maupun bisnis yang ramah dan menghormati HAM juga dapat diaplikasikan untuk sektor UMKM. UMKM tidak hanya membahas perputaran uang skala kecil dan menengah yang dikelola keluarga, namun juga membahas mengenai rantai suplai yang memasok kebutuhan industri besar bahkan internasional. Menjadi pertanyaan adalah, apakah UMKM tidak memiliki dampak bagi kerusakan lingkungan? dan pelanggaran-pelanggaran lain yang merampas HAM?

Pertanyaan diatas sudah pasti tidak dapat dijawab “tidak”, sehingga dalam menciptakan atmosfer usaha yang sehat yang dapat mengeleminasi praktik-praktik bisnis yang melanggar HAM, negara tidak dapat tebang pilih hanya menerapkannya pada bisnis skala tertentu, namun baik bisnis skala kecil hingga besar juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk patuh, tunduk dan menghormati HAM.

Untuk itu, peran strategis LSM tidak cukup hanya dikonsentrasikan untuk sebagai pengawas “Watch Dog” bagi industri besar, namun juga dapat di distribusikan untuk dapat memberikan, edukasi, pengawasan dan kritik terhadap praktik-praktik bisnis sektor UMKM yang berpotensi melanggar HAM, atau melindungi keberlanjutan UMKM yang menjadi korban persaingan bisnis tidak adil dengan pelaku bisnis skala besar.

Namun yang menjadi tantangan adalah bagaimana mendistribusikan knowledge bagi LSM yang memiliki kepedulian terhadap isu bisnis dan HAM? Khususnya LSM-LSM di daerah yang jauh dari akses informasi ataupun jaringan organisasi yang memadai dalammendapatkan wawasan Prinsip Bisnis dan HAM. Pada buku ini, Konsil LSM Indonesia menjabarkannya cukup detail dalam modul training yang disusunnya. Penngenalan materi dasar dan pelatihan bagaimana mengartikulasikan UNGP Bisnis dan HAM ini dipaparkan secara terstruktur.

Modul ini sangat bermanfaat dan dapat membantu bagi LSM-LSM di daerah yang memiliki keterbatasan jaringan informasi dan oragansiasi untuk penguatan kapasitas SDM organisasi dalam memahami tahapan-tahapan dan tindakan dalam advokasi Bisnis dan HAM.

Klik gambar untuk unduhatau KLIK DISINI

 

Baca Lainnya

Anggota Kami

F A K T A – Forum Analisis Kketerwakilan dan Transparansi...

Komp. Pertokoan Nusa Indah Plaza D 11 – KALBAR,

Yayasan SHEEP Indonesia

Jl. Bimo Kurdo No.11, Sapen, Demangan, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55221

Lembaga Masyarakat Indonesia Hijau

Artikel Terkait

Diseminasi Indeks Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil (CSOSI) 2023 dan Resiliensi OMS

Jakarta, 5 Agustus 2024 – Ruang sipil menyempit akibat kebijakan negara, tindakan kekerasan, dan...

Ini Hasil Survey Organisasi Masyarakat Sipil di 35 Provinsi

(Eksistensi organisasi mengacu kepada prasyarat dasar organisasi seperti legalitas, struktur, laporan keuangan dan kegiatan)Liputan6.com,...

Panel Expert Meeting Penyusunan Indeks Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia 2023

Sejak tahun 2015 sampai dengan 2022, Konsil LSM Indonesia secara regular mengeluarkan Indeks Keberlanjutan...

Indeks Keberlanjutan OMS Indonesia 2023 Akan Dimulai Kembali

Kepada Yth.Bapak/Ibu Pimpinan/Perwakilan OMSDi tempatKonsil LSM Indonesia merupakan mitra lokal dari 74 negara dalam...