Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memerintahkan pelaksana tugas Kapolri yang juga Wakapolri Komjen Badrodin Haiti melakukan pembenahan besar-besaran di tubuh Polri.
Salah satunya dengan mencopot Komjen Pol Budi Waseso sebagai Kabareskrim yang dianggap berperan dalam upaya pelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kepada Presiden kami mendesak agar memerintahkan pelaksana tugas, wewenang dan tanggung jawab Kapolri untuk melakukan pembenahan besar-besaran di tubuh kepolisian, langkah itu mesti ditindaklanjuti dengan mencopot semua aktor-aktor yang berperan dalam pelumpuhan KPK terutama dengan mencopot dan menonaktifkan Komjen Pol Budi Waseso,” kata Alghifari Aqsa dari LBH Jakarta saat membacakan pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi di Gedung KPK, Kamis (19/2).
Selain mendesak pencopotan Budi Waseso, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengambil tindakan jelas dan terang benderang menghentikan semua proses kriminalisasi yang terus menerus terjadi terhadap KPK.
Selain itu, dalam mengajukan nama Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri baru harus dititikberatkan pada penilaian terhadap aspek-aspek integritas dan bebas korupsi dengan melibatkan KPK dan PPATK.
“Kami juga mendorong plt pimpinan KPK agar melakukan deklarasi integritas dan deklarasi bebas konflik kepentingan terutama dalam kapasitasnya sblm menjabat plt pimpinan KPK baik potensi kepentingan terkait afiliasi politik, pekerjaan, bisnis, keluarga dan sebagainya. Sementara untuk KPK, kami meminta agar terus mengusut perkara Komjen Pol Budi Gunawan dan perkara-perkara korupsi lainnya,” tegasnya.
Alghifari menyatakan, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi kecewa dengan keputusan Jokowi dalam menangani kekisruhan antara KPK dan Polri.
Meski membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Jokowi tidak memiliki itikad untuk menghentikan proses kriminalisasi terhadap KPK.
“Tindakan kriminalisasi tidak berhenti dengan pembatalan Komjen BG sebagai calon Kapolri,” tegasnya.
Alghifari menyatakan, hingga saat ini, proses kriminalisasi terhadap KPK masih berlangsung dan terjadi secara sistematis. Dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian sementara pimpinan KPK dan disusul penerbitan Perppu Plt pimpinan KPK semakin mempertegas sikap Jokowi yang seolah menganggap serangkaian kriminalisasi terhadap KPK adalah proses penegakan hukum biasa dan bukan kriminalisasi.
Padahal, Jumat (20/2) esok, penyidik KPK, Novel Baswedan akan diperiksa sebagai tersangka. Belum lagi dalam waktu dekat 21 penyidik KPK akan ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.
“Pemberhentian pimpinan KPK menunjukkan bahwa presiden melakukan tindakan timpang atau unequal treatment. Presiden segera bersikap untuk kasus-kasus biasa yang diduga dilakukan pimpinan KPK, tetapi tidak sama sekali untuk kasus-kasus korupsi. Dengan demikan komitmen pemberantasan korupsi Presiden Jokowi patut dipertanyakan,” katanya.
Lebih jauh, Alghifari menyatakan, Presiden Joko Widodo hingga kini masih menutup mata dengan fakta bahwa kepolisian terus menerus membangkang arahan presiden.
Selain tidak sensitif terhadap gerakan pemberantasan korupsi, presiden juga tidak peka terhadap penghormatan atas HAM. Salah satunya dengan mengabaikan rekomendasi Komnas HAM terkait penangkapan Bambang Widjojanto.
“Pesiden telah abaikan rekomendasi Komnas HAM yang intinya menyatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang, penggunaan kekuatan yang berlebihan, dan pelanggaran terhadap hukum acara dan due process of law,” katanya.
Penulis: Fana Suparman/FQ | Sumber:Suara Pembaruan