Dampak negatif UU No. 17/2013 tentang Ormas telah terjadi di berbagai tempat berupa pembubaran sejumlah LSM. Menyikapi kondisi itu, LSM perlu terus berjuang melalui upaya judicial review, demonstrasi dan lobby. Demikianlah kesimpulan Damairia Pakpahan sebagai moderator seminar Potensi Dampak UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakan terhadap OMS dan relasi OMS-Negara yang diselenggarakan Konsil LSM Indonesia di Jakarta, 23 September 2013.
Dalam seminar tersebut, hadir sebagai pembicara: Erna Witoelar (Kemitraan), Nia Elvina (Kemendagri), Eryanto Nugroho (PSHK) dan Budi Susanto (Kemitraan).
Erna Witoelar menekankan pentingnya tata kelola LSM, baik secara internal, juga LSM yang berjejaring dengan LSM lain, serta LSM yang berjejaring dengan stakeholder lain seperti pemerintah atau sektor swasta. “Ketiga tata kelola ini harus memenuhi prinsip partisipasi transparansi, akuntabilitas, juga prinsip-prinsip lain yang dikembangkan secara internasional maupun dalam negeri seperti prinsip responsif, efisiensi dan sebagainya,” tegas Erna.
Tata kelola menjadi penting, karena terkait dengan kemandirian, keberlanjutan organisasi serta kesetaraan dengan stakeholder. “Kita tidak bisa mengritik korupsi kalau kita sendiri melakukan korupsi. Kita tidak bisa mengritik komersialisasi jika kita mengomersialkan LSM kita. Kita bisa sejajar dengan pemberi dana,dengan pemerintah dalam membangun kebijakan, dan kita dapat membangun kepercayaan dengan masyarakat,” ujar Erna. Terkait dengan UU No. 17/2013, Erna menyatakan bahwa situasi represif terhadap LSM justru menjadi peluang bagi LSM untuk bersatu dan membangun kepedulian bersama. “Kita tidak bisa lagi beraktivitas secara parsial dan berjangka pendek. Keberadaan kita membutuhkan nafas yang panjang dan jejaring yang luas supaya kita membawa dampak apapun yang kita lakukan, termasuk kerja sama dengan pihak lain,” tegas Erna.
Sementara itu, Eryanto memaparkan proses pembuatan UU No. 17/2013 serta kerancuang yang ditimbulkannya. “Undang-undang ini memiliki kerancuan hukum dan multitafsir,” tegasnya. Dampak negatifnya pun sudah terjadi, yakni tudingan ilegal dan dibubarkannya sejumlah LSM di Lombok dan Karanganyar karena tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar. “Kita harus menaruh perhatian dalam hal ini, karena UU ini sudah merusak kebebasan berserikat dan berkumpul,” tandas Eryanto.
Berbeda dengan kedua pembicara sebelumnya, Nia Elvina justru menyampaikan bahwa UU No. 17/2013 adalah upaya pemerintah untuk melakukan proteksi terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul. “Dalam UU ini ada kewajiban pemerintah untuk melakukan pemberdayaan terhadap ormas,” tutur Nia. “Dengan demikian, ada potensi sinergi antara pemerintah dengan ormas.”
Mencoba untuk memberikan gambaran real mengenai relasi OMS-negara, Budi Santoso memaparkan hasil survai Indonesia Governance Index (IGI, 2012). “Secara skor rata-rata, masyarakat sipil menunjukkan kinerja lebih baik daripada pemerintah, birokrasi dan sektor swasta. Skor masyarakat sipil lebih rendah pada aspek akuntabilitas dan efisiensi,” ujar Budi. Kondisi ini, dengan nilai rata-rata kinerja masyarakat sipil yang tidak berbeda jauh dengan nilai pemerintah dan birokrasi, ditandaskan Budi, “Sulit untuk mendorong perubahan.”
Seminar dihadiri oleh sekitar 135 aktivis LSM, lembaga donor, lembaga internasional, akademisi dan pers. Sejumlah 47 peserta seminar adalah Anggota Konsil LSM Indonesia dari 15 provinsi di Indonesia yang hendak menghadiri Kongres Nasional II Konsil LSM Indonesia yang berlangsung 23-25 September 2013.*