Wakil Ketua KPK non aktif Bambang Widjojanto mencermati masih belum adanya standard operational procedure (SOP) yang mengatur mengenai peningkatan kompetensi staf lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam buku Standar Minimal Akuntabilitas LSM yang diterbitkan oleh Konsil LSM Indonesia.
Bambang mengungkapkan hal tersebut dalam Diskusi Publik bertema “Waspadai Pseudo LSM : Apa beda LSM yang Sesungguhnya dengan yang Bukan” diadakan oleh Konsil LSM Indonesia, Selasa (21/4) lalu. Diskusi juga menghadirkan Direktur Bina Ideologi Kemendagri Sapto Supono, Ketua Dewan Etik Konsil LSM Indonesia Baharuddin Solongi, dan Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia Lusi Herlina.
Mantan Ketua YLBHI tersebut menekankan pentingnya peningkatan kompetensi bagi aktifis LSM karena LSM memiliki peran penting dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan korupsi sementara modus kejahatan berkembang dengan sengat cepat. “Seringkali sebagai penegak hukum ketinggalam, apabila tidak meningkatan kompetensi maka bisa ketinggalan,” katanya.
Bambang mengatakan bahwa ia sering mengajak kalangan LSM anti korupsi agar meningkatkan kompetensinya tidak hanya mencermati pengeluaran, tapi juga mengawasi revenue karena lebih dari 70 % anggaran negara berasal dari pajak. “Korupsi adalah well organized crime, untuk memetakan hal itu harus ada kemampuan yang terus ditingkatkan.” Untuk membangun kepercayaan, Bambang yang mendorong isu integritas mengusulkan agar pemimpin LSM memberikan contoh untuk menjelaskan asal usul kekayaan dan aset yang dimiliki. “Jadi integritas di LSM dimulai dengan integritas pribadinya.”.
Sementara itu Sapto Supono mengatakan bahwa dengan UU Ormas seharusnya posisi pemerintah dengan LSM jangan dihadap-hadapkan pada posisi yang saling mencurigai. Padahal, pemerintah justru memandang LSM sebagai kekuatan bangsa yang luar biasa karena pemerintah merasa tidak bisa menangani semua masalah.
Salah satu masalah, Sapto mencontohkan persoalan di Kabupaten Brebes yang bisa menghasilkan Rp 15 trilyun dari bawang merah namun dana tersebut tidak menetes pada tingkat petani. Perhitungannya lahan pertanian mencapai 30 ribu hektar dengan produksi 10 ton/ hektar. “Kalau harga bawang merah dipermainkan oleh kartel dari 4 ribu menjadi Rp 5 sampai 50 ribu maka dana yang berputar bisa mencapai Rp 15 trilyun. Itu baru satu contoh persoalan,” katanya.
Ketua Komite Pengarah Nasional Konsil LSM Indonesia Frans Toegimin menjelaskan bahwa pihaknya ingin mempromosikan standar akuntabilitas LSM yang sudah dipersiapkan cukup lama, sekaligus memperkuat akuntabilitas LSM di Indonesia. Menurut Frans yang sudah bergelut lebih dari 40 tahun di dunia LSM, salah satu dampak pengembangan demokrasi, adalah munculnya ide dan kreatifitas masyarakat sipil dalam berorganisasi, khususnya dalam ber-LSM. “Ada distilah, dimana seribu bunga berkembang, dari kanan sampai kiri sangat berwarna dan bervariasi, sehingga tidak mudah mengenal LSM itu seperti apa?” katanya.
Lusi Herlina menegaskan bahwa setiap organisasi perlu membangun budaya organisasi yang kuat diantaranya dengan menerapkan akuntabilitas. Dengan menjadi organisasi yang kuat, LSM akan memiliki posisi yang sejajar dengan pemerintah dan swasta serta meraih kepercayaan dari masyarakat. Bagi masyarakat, LSM yang akuntabel menempatkan masyarakat sebagai subyek sekaligus mitra. Bagi pemerintah, tidak perlu sibuk mengurusi kelembagaan LSM karena LSM mampu mengatur dirinya sendiri. Sektor swasta juga tidak sulit untuk bekerja sama karena LSM sudah mempunyai pengaturan kode etik-nya sendiri. “Penerapan akuntabilitas akan berdampak positif bagi organisasi LSM sendiri,” katanya.
Baharuddin mengatakan bahwa assessment telah dilakukan terhadap 67 dari 99 lembaga anggota Konsil LSM. Dari jumlah tersebut, 29 lembaga dinyatakan telah memenuhi standar minimal akuntabilitas LSM. “Dengan demikian sebanyak 46 %, sudah sesuai, 52 %, sesuai sebagian dan 2 % tidak sesuai,” ujarnya.
Buku yang diterbitkan atas dukungan Ford Foundation tersebut menjelaskan standar minimal akuntabilitas LSM dan bagaimana LSM bisa melaksanakan standar tersebut. Selain digunakan oleh anggota Konsil LSM Indonesia, buku tersebut juga diharapkan dapat digunakan komunitas LSM di Indonesia pada umumnya.
Baharuddin mengamati dalam beberapa waktu terakhir muncul kembali organisasi atau sekelompok orang yang menyebut dirinya “LSM” namun aksi-aksinya justru berseberangan dengan kekuatan masyarakat sipil pro-demokrasi lainnya. Kehadiran LSM yang diistilahkan sebagai pseudo LSM atau “LSM Seolah-olah” ini cukup mengganggu serta meresahkan banyak kalangan karenna memgakibatkan reputasi dan kepercayaan terhadap LSM Indonesia jatuh dimata publik.
Menurut Sapto, dengan penerapan akuntabilitas ini LSM abal-abal akan hilang dengan sendirianya, cepat atau lambat. Pihaknya berharap standar akuntbalitas akan medorong LSM yang akuntabel sehingga akan mewujudkan organisasi masyarakat sipil dan modal social yang bisa memberikan kontribusi nasional. ***