Rabu, 17 Desember 2014
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penolakan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (Ormas) disuarakan berbagai organisasi termasuk Muhammadiyah. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Eryanto Nugroho mengungkapkan ada lima dasar penolakan UU Ormas.
Pertama, proses pembentukan UU Ormas tidak memenuhi peraturan perundang-perundangan yang baik. Penolakan UU Ormas ini dilakukan berbagai organisasi karena telah menciderai UU Perkumpulan.
“Ini tidak memenuhi asas yang berlaku bagi pemangku kepentingan dan tegas menolak karena tidak memenuhi proses pembentukan yang baik,” kata Eryanto saat diskusi publik dengan tema “Dari Undang-Undang Ormas ke Rancangan Undang-Undang Perkumpulan” di Kantor Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Rabu (17/12/2014).
Kedua, implementasi yang bermasalah menimbulkan kerancuan di berbagai daerah. Eryanto menuturkan, permasalahan di berbagai daerah muncul karena Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri.
Ketiga, UU Ormas dinilai sabagai sejarah yang membawa paradigma bermasalah. Hal ini berdasarkan pengalaman pada tahun 1980-an yang mengalami perdebatan mengenai UU Ormas. Perdebatan ini terkait ormas sebagai wujud upaya stabilitasi politik baik melalui wadah tunggal dan asas tunggal.
“Kita memandang bahwa era demokrasi harus dikontrol masyarakat bahwa paradigma masyarakat sebagai ancaman bukan sebagai mitra kerja itu paradigma sekarang,”kata Eryanto.
Keempat, UU Ormas lebih mengedepankan pendekatan politik. Eryanto menyatakan adanya penyeragaman organisasi melalui Kesbangpol Kemendagri lebih mengedapankan politik sehingga menjadikan Ormas dikekang.
Kelima, terjadinya kerangka hukum yang tumpang tindih dalam perkumpulan berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum serta tidak mencampuri dengan yayasan. Menurutnya, perbedaan ini penting dilakukan sehingga tidak menjadi kerancuan dalam implementasi.
Laporan wartawan Tribunnews.com, Randa Rinaldi