Bangsa Indonesia kehilangan putra terbaik yang berjasa dalam membangun Indonesia ditengah keterpurukan krisis ekonomi 1998 dan krisis demokrasi setelah 32 tahun dibawah kepemimpinan otoriter Orde Baru.
Ditengah kondisi demikian, Sosok Habibie muncul di tampuk kepemimpinan Indonesia tatkala negeri ini dilanda reformasi besar-besaran. Ia adalah pemimpin era transisi yang menggawangi demokratisasi negara kepulauan berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini.
Ia menggantikan penguasa Orde Baru, Soeharto, setelah berkuasa selama 32 tahun.
Saat ia pertama kali menjabat, kondisi Indonesia tengah kacau balau, menghadapi ancaman disintegrasi serta krisis ekonomi.
Nilai tukar rupiah pada 1998 sempat menyentuh Rp 16.800 per dolar Amerika, namun di tangan Habibie, kurs rupiah mampu dikendalikan hingga berada di bawah Rp 7.000 menjelang akhir masa pemerintahannya.
Habibie banyak melahirkan kebijakan krusial bagi negaranya. Namun, ada satu keputusannya yang fundamental bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia.
Dibawah kepemimpinan Habibie, Indonesia menjadi negara demokratis terbesar ke-3 di dunia. Dalam buku yang ditulisnya sendiri, Detik-Detik yang Menentukan, Habibie mengatakan, “sejak menerima jabatan, saya senantiasa berusaha untuk melaksanakan demokratisasi, menegakkan supremasi hukum, menstabilkan perekonomian, dan promosi serta penghormatan hak-hak asasi manusia.” Dan dia melakukannya dengan baik, dengan mengeluarkan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang seiring sejalan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah peraturan yang memungkinkan berdirinya partai politik di luar tiga partai tradisional yang diizinkan hidup di era Orde Baru: Golkar, PDI, dan PPP.
Habibie
juga memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya lewat
serikat buruh. Buktinya, dia mencabut larangan pendirian serikat buruh
independen dengan meratifikasi Konvensi ILO No.87 yang salah satu poinnya
adalah “kebebasan berserikat”, selain larangan kerja paksa dan
diskriminasi dalam pengupahan berdasarkan gender.
Sendi-sendi demokrasi di Indonesia juga diperkuat oleh kebebasan Pers yang diterbitkan pada masa kepemimpinan Habibie, Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kebijakan tersebut pun sangat berdampak positif bagi perkembangan jumlah penerbitan di Indonesia setelah memasuki masa Reformasi.
Kini sang pengibar panji-panji demokrasi telah mangkat dan menghadap kepada Sang Maha Pencipta. Selamat jalan Bapak Habibie, terimakasih atas jasa-jasamu, jasamu dikenang oleh seluruh generasi bangsa ini.