Dalam pengelolaan dana corporate social responsibility (CSR), LSM didorong untuk bermitra dengan perusahaan. Bagaimana halnya jika perusahaan yang menawarkan kerja sama ternyata adalah perusak lingkungan? Apakah LSM seharusnya menolak tawaran kerja sama tersebut?
Pertanyaan itu mengemuka saat diskusi dalam acara Lokakarya Internalisasi Kode Etik Konsil LSM Indonesia dan Tindak Lanjut Hasil Assessment Penerapan Kode Etik yang berlangsung di Riau, 28-29 Agustus 2012. Fasilitator pada acara tersebut adalah Frans Toegimin selaku Ketua Dewan Etik Konsil dan Lusi Herlina, Direktur Eksekutif Konsil. Lokakarya dihadiri oleh lima Anggota Konsil di Provinsi Riau, yakni LSM Bunga Bangsa, Riau Women Working Group (RWWG), Yayasan Siklus, Yayasan Utama dan Yayasan Riau Mandiri.
Identifikasi Kelemahan untuk Rumuskan Tindak Lanjut
Pada hari pertama, peserta men-sharing-kan tujuan dan output lokakarya. Tujuan lokakarya adalah untuk meningkatkan pemahaman Anggota Konsil tentang Kode Etik. Selain itu, Anggota Konsil juga akan mendapatkan gambaran hasil penerapan Kode Etik di lembaga peserta, lalu mendiskusikan hasil/capaian assessment tersebut. Dalam diskusi, diharapkan peserta mampu mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan LSM Anggota Konsil di Riau dalam penerapan Kode Etik, sehingga dapat dirumuskan rencana tindak lanjut bersama untuk meningkatkan komitmen dan tindakan konkret dalam memperbaiki penerapan KE. Dengan demikian, output lokakarya adalah rumusan tindak lanjut yang konkret untuk peningkatan penerapan Kode Etik masing-masing lembaga Anggota, serta rumusan tindak lanjut antar lembaga Anggota dalam peningkatan penerapan Kode Etik Konsil.
Tujuan Peningkatan Akuntabilitas melalui pelaksanaan Kode Etik sendiri adalah:
- meningkatnya kepercayaan dan legitimasi kepada LSM sebagai organisasi non-pemerintah dan nirlaba;
- meningkatnya kredibilitas dan kepercayaan publik bahwa LSM mempunyai standart moral yang tinggi sebagai organisasi yang profesional dan akuntabel;
- meningkatnya posisi tawar terhadap pihak luar (pemerintah, donor, swasta-CSR, Kelompok Dampingan, dll.);
- terbangunnya lingkungan hukum dan politik yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya peran masyarakat sipil.
Konsekuensi Penerapan Kode Etik
Dalam upaya menerapkan Kode Etik, konsekuensi yang dijalani oleh Anggota Konsil adalah memastikan bahwa semua kebijakan dan aturan lembaga (AD, ART, SOP, dll) sesuai atau mengacu pada isi Kode Etik. Apabila kebijakan dan aturan lembaga tidak sesuai, atau bahkan bertolak belakang dengan Kode Etik, perlu dilakukan review. Penyesuaian kebijakan dan aturan dengan Kode Etik dapat dilakukan secara bertahap.
Selain itu, implementasi atau pelaksanaan Kode Etik tidak hanya berhenti pada tingkat lembaga, tetapi juga sampai pada personil lembaga. Dalam upaya penerapan Kode Etik ini, lembaga Anggota perlu menerima ‘campur tangan’ Konsil LSM dalam kadar terbatas di lembaga Anggota.
Prinsip dan nilai dalam Kode Etik sendiri meliputi: integritas, transparansi, independensi, anti kekerasan, keadilan & kesetaraan gender, serta keuangan (dalam hal sumber & pengelolaan). Kode Etik Konsil LSM Indonesia diberlakukan secara penuh pada September 2012.*