Pengantar
Lembaga Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingkat LSM) sedang menuai kritikan tajam.
Selama tiga hari, harian Kompas (16 April, 18 April dan 19 April 2007) menurunkan liputannya mengenai akuntabilitas Lebaga Swadaya Masyarakat. Bermula dari sebuah diskusi publik bertema “Perlunya Mengaudit Agenda dan Sumber Dana Asing terhadap LSM yang merugikan Rakyat, Bangsa dan Negara” di Jakarta (14 April 2007), akuntabilitas LSM digugat. Beberapa poin yang mengedepan dalam diskusi tersebut adalah perlunya mengontrol LSM dengan audit publik dan membuat peraturan setingkat Undang-Undang untuk mengatur tentang LSM sebagai pilar civil society. Ada juga polemik mengenai perlunya LSM membuka laporan keuangannya kepada publik jika memperoleh dana donor luar negeri. Selain itu, ada konstatasi bahwa partai politik lebih akuntabel dan transparan dari LSM. Bahkan, ada yang secara sarkastik menuding beberapa LSM hanya bermodalkan kliping koran, dll.
Berdasar pada liputan Kompas tersebut, penulis mencoba mendiskusikan gagasan dan praktik akuntabilitas LSM di Indonesia secara lebih berimbang. Bagian awal akan menjelaskan kerangka konseptual tentang transparansi dan akuntabilitas bagi LSM. Selanjutnya, akan mendeskripsikan sejarah pertumbuhan LSM di Indonesia, dan juga penyimpangan-penyimpangan aktivisme LSM. Bagian akhir akan menjelaskan model ideal akuntabilitas LSM.
Kerangka konseptual: Transparansi dan Akuntabilitas
Akuntabilitas, yang sering dipahami sebagai akuntabilitas demokratis, berakar di dalam pengetahuan, dan sebuah pemahaman terhadap kedua prinsip dasar demokrasi, yaitu, ajaran mengenai mayoritas dan pemerintahan oleh rakyat. Akuntabilitas berarti kewajiban dasar bagi sebuah badan (negara, bisnis, LSM) untuk memerhatikan masyarakat atau pemegang saham untuk mengetahui berbagai kegiatan dan prestasi mereka. Prinsip ini mejamin masyarakat untuk mengetahui siapa dan bagaimana keputusan sebuah badan ditetapkan dan alasan yang mendasarinya. Pada saat yang sama, prinsip transparansi merujuk pada sikap terbuka sebuah badan kepada masyarakat guna mendapatkan akses informasi yang benar, jujur dan adil, seraya tetap melindungi hak-hak dasar dan kerahasiaan sebuah badan yang bekerja.[1]
Karenanya, akuntabilitas tidak saja terkait dengan pelaporan keuangan, melainkan juga persoalan legitimasi. Karenanya, untuk mengukur derajat akuntabilitas LSM tidak cukup menyoroti persoalan teknis, seperti keuangan dan program, tetapi juga partisipasi, konsultasi dan proses demokratisasi internal LSM.[2]
Menurut Rustam Ibrahim, akuntabilitas LSM adalah proses yang menempatkan LSM bertanggung jawab secara terbuka atas apa yang diyakininya, apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya kepada stake holder (kelompok sasaran, lembaga donor, sesama Ornop, pemerintah dan masyarakat luas). Akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding). Singkatnya, pelaporannya dengan cara transparan.[3]
Transparansi mengandung arti adanya keterbukaan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Artinya, setiap aktivitas selalu bisa dibuktikan melalui data yang kuat, sah, dan akurat. Sedangkan akuntabilitas merupakan manifestasi rasa tanggung jawab yang menuntut pelaksanaan tugas yang telah diamanahkan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Singkatnya, konsep yang terakhir sejalan dengan efisiensi dan efektifitas.[4]
Sejarah Pertumbuhan Masyarakat Sipil: Sebuah Overview
Gagasan civil society menguat pada dua dasawarsa terakhir, terutama sejak berhembusnya angin perubahan dan menguatnya gelombang demokratisasi dari daratan Amerika Latin dan Eropa Timur, yang menyapu berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Civil society, pada dasarnya, memiliki motivasi dasar untuk merestriksi absolutisme kekuasaan, meningkatkan kapasitas komunitas, mengurangi derajat negatif ekonomi pasar, dan menuntut akuntabilitas politik serta menaikkan mutu dan sifat inklusif dari tata kelola pemerintahan (good governance).[5]
Karenanya, intisari civil society adalah visi etik terhadap tatanan kehidupan sosial yang bertolak dari dua perspektif. Perspektif pertama, terbangun dari tradisi berpikir marxist, yang menekankan basis ide civil society berdasar pada ketegangan (tensions) antara perkembangan masyarakat dengan kenyataan yang diperhadapkan oleh negara. Tradisi ini berpandangan masyarakat sebagai sebuah entitas yang mampu mengatur dirinya sendiri dan memiliki hak dan kebebasan. Keadaan ini membutuhkan perlindungan dari represi negara. Perspektif kedua, memandang civil society sebagai sebuah tipe ideal di mana organisasi sosial berdiri sendiri dan merupakan institusi sukarela (voluntary association) serta bebas dari interferensi negara. Keberadaan civil society merupakan entitas yang berhadapan dengan negara dan sektor swasta.[6]
Kedua pandangan tersebut sejatinya memiliki muara yang sama, yaitu civil society dapat mengembangkan masyarakat yang lebih demokratis, menjunjung tinggi kemanusiaan (humanity) dan merealisasikan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian, pentingnya civil society merupakan agenda masyarakat dunia sejak perang dingin (Cold War) berakhir sudah. Bahkan, terpatri keyakinan bahwa negara akan lebih demokratis jika civil society berkembang.
Tidak ada definisi yang tunggal mengenai civil society. AS Hikam secara eklektik mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaan dan keswadayaan. Kemandirian yang tinggi menghadapi negara dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang diipanuti oleh warganya.[7]
Sebagai ruang politik, civil society merupakan arena yang dapat menjamin terselenggaranya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, yang tidak terkungkung oleh kondisi material, dan juga tidak terserap ke dalam jaringan kelembagaan politik resmi. Berpegang pada penilaian seperti ini, maka civil society mengejawantah ke dalam pelbagai organisasi/asosiasi yang dibentuk oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Karenanya, Organisasi non pemerintah (ornop), organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban, dan juga kelompok kepentingan merupakan penjelmaan kelembagaan civil society.
Gerakan ornop, atau lebih populer dengan LSM di Indonesia, pada dasarnya juga terbentuk sebagai pengimbang dominasi negara dalam proses rancang bangun pembangunan. Trend demikian sudah jamak terjadi di berbagai belahan dunia, baik di Utara (negara-negara maju) maupun di Selatan (negara-negara berkembang). Namun, di negara maju LSM sudah memainkan agensinya dalam menetapkan kebijakan publik, oleh karena budaya demokrasi sudah maju, SDM yang mumpuni dan kemampuan finansial yang tersedia. Sedangkan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, LSM masih berjuang sebagai mitra pemerintah dalam proses pembanguan.
Sejarah keterlibatan LSM di Indonesia sudah bermula sejak tahun 1950-an. Namun, peran dan aktivitas yang dijalankan secara umum masih berkutat pada upaya-upaya karitatif, terutama menanggulangi kelaparan. Jadi, keberadaannya lebih sebagai “sinterklas”. Priode ini berlangsung hingga tahun 1960-an. Menurut penulis, meskipun masa sudah berubah, dewasa ini kita masih menemukan LSM yang lebih berfungsi sebagai sinterklas.
Tahun 1966 hingga 1970-an adalah formative years pertumbuhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berjuang untuk keluar dari formasi sinterklas. LSM masa ini mulai mengembangkan sikap kritis terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.Terdapat tiga argumen yang mendasari perkembangan ini. Pertama, munculnya inisiatif kalangan non-pemerintah untuk mendirikan organisasi-organisasi non-pemerintah berbasis komunitas. Beberapa organisasi non-pemerintah seperti LP3ES didirikan atas prakarsa tokoh-tokoh muda dari kalangan sipil. Kedua, pada fase ini mulai terjalin kontak yang intensif antara LSM lokal dan internasional sekaligus menandai dimulainya kerjasama dan pengembangan jaringan (networking) dengan mitra-mitra kerja di luar negeri. Ketiga, pemerintah mulai menyediakan perangkat hukum sebagai aturan main lembaga-lembaga non-pemerintah tersebut.[8]
Namun, fase ini ditandai dengan local resources yang terbatas. Kalangan LSM lebih banyak bergantung pada sumber-sumber pendanaan internasional, semisal USAID, The Ford Foundation, The Asia Foundation, Toyota Foundation, FNS, NOVIB dll. LSM juga menerima bantuan dana dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank. Selain berbentuk hibah (grant), dana yang diterima dari sumber terakhir ini sebagian bersifat utang negara.[9]
Sejak tahun 1970-an, kalangan LSM benar-benar menikmati “surga” aliran dana tersebut dengan mudah (easy money). Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan tangan donor asing. Bahkan, ada asumsi bahwa LSM-LSM tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan kepentingan domestik. LSM menjual kemiskinan, menjual negara, agen-agen kapitalis adalah di antara aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak yang merasa gerah dengan agenda LSM. Situasi ini tidak jarang merepotkan para aktivis LSM, terutama dalam menegosiasikan agenda-agenda sosial politik yang diperjuangkannya. Kesulitannya adalah bagaimana LSM meyakinkan pihak dalam negeri bahwa agenda mereka bebas dari campur tangan pihak asing.[10]
Di sini tidak ingin dikembangkan suatu perspektif bahwa kerjasama dengan pihak asing merupakan barang haram. Karena dalam dunia yang menglobal hubungan dan kerjasama dengan negara-negara sahabat di Barat sungguh tak terelakkan. Apalagi bila hubungan tersebut berlandaskan komitmen untuk menata dunia yang lebih adil, damai dan sejahtera. Ini juga mengingat sumberdana domestik tidak mencukupi untuk membiayai agenda-agenda pembangunan. Memperoleh dana pemerintah dalam jumlah besar sulit terwujud karena anggaran pemerintah yang terbatas. Selain itu, dana seperti ini beresiko mengkooptasi kemandirian LSM dalam mengadvokasi kebijakan publik.
Sementara itu, penggalangan dana dari perusahaan dalam negeri, atau lebih dikenal dengan istilah corporate social responsibility (CSR), juga problematik mengingat sebagian besar sektor swasta di Indonesia menyumbang kontribusi besar dalam mencipta problematika sosial serta merusak lingkungan alam. Pada masa Orde Baru, kalangan swasta, terutama perusahaan besar, seringkali bersekongkol dengan penguasa untuk menguras kekayaan alam serta memanfaatkan akses-akses ekonomi politik secara privilage demi kepentingan bisnis mereka. Salah satu ulah perusahaan besar adalah mengeksploitasi sumberdaya alam dan ekonomi secara illegal dan membabi buta sehingga menyebabkan Indonesia terjebak dalam krisis sosial dan kerusakan alam yang sangat parah. Demikianlah beberapa alasan mengapa organisasi non-pemerintah tidak tertarik menggalang dana dari sektor swasta.[11]
Pada pungkasan 1970-an hingga 1990-an, minyak bumi andalan Indonesia mengalami kerugian dan membumbungnya utang luar negeri yang sangat memprihatinkan tanah air. Bersamaan dengan itu, rejim Orde Baru yang otoriter membuat isu-isu dunia seperti lingkungan hidup, demokratisasi, gender dan HAM kuat berkumandang ke pelbagai sudut-sudut kehidupan. Dalam konteks ini, terjadi mushroomingLSM yang karakternya bertujuan melakukan transformasi sosial. Fase ini juga masih mengandalkan bantuan donor asing, yang mengakibatkan LSM menuai tudingan yang tidak sedap seperti telah disinggung di atas.
Salah satu problem yang menghinggapi LSM dewasa ini adalah keberlanjutan finansial (financial sustainability). Tidak saja berbagai LSM kecil yang menghayati kesulitan ekonomi, bahkan beberapa di antaranya berguguran, tetapi juga beberapa LSM besar yang diterpa kesulitan finansial mengalami kesulitan meneruskan agendanya. Misalnya, kita pernah dikejutkan dengan berita akan tutupnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) akibat kekurangan finansial. Kondisi itu tercipta setelah beberapa lembaga donor menghentikan aliran dananya. Di sini tidak akan dibahas kenapa dana asing itu distop, karena keterbatasan ruang.
Hasil penelitian Rustam Ibrahim pada tahun 2005 dengan mengambil sampel 25 organisasi, meskipun tidak semua sampel itu tergolong LSM, karena sebagiannya adalah OSMS, menjustifikasi fenomena itu. Mayoritas responden mengandalkan bantuan luar negeri yang mencapai 65 %, dan sumber dalam negeri 35 %.[12]
Sementara itu, beberapa tahun terakhir ada kecenderungan berkurangnya dana hibah akibat situasi dunia yang berubah sehingga ikut mengubah prioritas dan kebijakan lembaga donor. Saya pernah mendengar bahwa beberapa donor besar, seperti Ford Foundation mulai mengalihkan perhatiannya dari Indonesia secara perlahan, dan mendorong penggalangan local resources. Akibatnya, berbagai upaya untuk sintas (survive) sedang dan telah dilakukan oleh LSM dengan menggali local resources yang tersedia, baik dengan menggalang dana secara masif dari masyarakat maupun melalui unit-unit usaha yang digiatkan LSM.
Sejak pungkasan tahun 2000-an, terbit fenomena filantropi (kedermawanan) yang luar biasa di kalangan masyarakat. Pada saat negara mengalami kegagalan mensejahterakan warganya, ketika bencana alam datang bertalu-talu, animo masyarakat untuk berfilantropi atau berderma sangat kuat. Sayangnya, filantropi untuk tujuan-tujuan publik atau juga kepada LSM sangat terbatas.[13] Bahkan, beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang banyak meraup dana publik enggan untuk bermitra dengan LSM dalam menyalurkan filantropi untuk keadilan sosial.[14]
Penyimpangan-Penyimpangan Aktivisme LSM
Keberadaan LSM sebagai motor penggerak masyarakat sipil sering dimaknai negatif akibat perilaku beberapa LSM atau pengurus LSM itu sendiri. Kastorius Sinaga mencotohkan penggelapan dana JPS yang melibatkan sejumlah LSM tahun 2000; dugaan penyimpangan dana banjir oleh ICE on Indonesia tahun 2002; tuduhan kolusi antara PLN dengan salah seorang pengurus YLKI tahun 2001 telah mencoreng wajah LSM.[15]
Hasil observasi LP3ES beberapa waktu lalu di delapan Propinsi menunjukkan berbagai penyimpangan LSM. Paling tidak ada empat bentuk aktivisme LSM menyimpang ini. Pertama, LSM yang memiliki tautan yang kuat dengan lingkar kekuasaan, terutama dalam aktivitas dukung mendukung calon pejabat di berbagai level. Kedua, LSM yang sengaja dibentuk untuk memperebutkan atau menampung proyek pemerintah (daerah). Kehadiran LSM ini untuk menyahuti peluang kebijakan berbagai negara-negara donor yang mensyaratkan peran serta masyarakat dalam proyek pembangunan. Umumnya LSM ini dibentuk atau melibatkan pegawai Pemda setempat bersama kroninya. Ketiga, LSM yang bertujuan untuk meraih keuntungan ekonomi dengan berkedok LSM yang melakukan kegiatan investigasi, mengkritik dengan pendekatan wachtdog, namun ujung-ujungnya transaksi money politics digelar dibelakang layar. Keempat, ada kelompok yang mengidentikkan diri sebagai LSM, yang justru mengabsahkan tindak kekerasan dan anarkhi.[16]
Model Ideal Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat
Memang harus diakui beberapa perilaku nakal LSM pada akhirnya hanya membuat bopeng wajah LSM secara umum. Namun, di sini pentingnya untuk tidak menggeneralisasi atau gebyah uyah bahwa semua LSM tidak akuntabel.
Implementasi akuntabilis LSM memang problematik di kalangan LSM. Menurut Greg Rooney, Civil Society Program Advisor ACCES, sedikit sekali perhatian yang didedikasikan untuk membentuk organisasi yang memiliki akuntabilitas dihadapan konstituennya. Bahkan, tidak banyak organisasi nirlaba yang berupaya meningkatkan prosedur operasional (baik SOP dan AD/ART) yang mengatur organisasinya. Bahkan, ada resistensi sejumlah LSM terutama yang menerima hibah donor asing untuk tidak melaporkan keuangannya secara transparan.[17]
Akuntabilitas LSM memang lebih ditujukan kepada donor secara langsung dengan cara membuat laporan akhir dan laporan keuangan. Donor tersebut yang akan melaporkan kepada publik. Namun, jika memperoleh dari pemerintah, maka LSM wajib melaporkannya kepada masyarakat. Sejauh ini beberapa LSM juga telah melaporkan kegiatan dan keuangannya kepada donor dan kepada publik. Ada yang membuat laporan tahunannya secara reguler dan bisa diakses publik. Jadi, tidak benar sama sekali bahwa tidak ada akuntabilitas LSM. Sebab jika itu benar, maka para donor juga enggan menggelontorkan dana hibahnya. Yayasan Interseksi, misalnya, mengembangkan akuntabilitas publik dengan cara mempublikasikan program risetnya melalui buku yang dapat dibeli di toko-toko buku. Bahkan, serpihan-sepihan sebuah program yang berjalan diberi ruang untuk dimuat di website. Ini juga mungkin suatu cara untuk menegaskan bahwa LSM bukanlah sarang “penyamun”, yang hanya sibuk mengkliping koran. Dalam kasus Interseksi, publikasinya menerima resepsi yang meriah. Misalnya buku Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, yang notabene hasil riset atas bantuan Yayasan Tifa, menjadi bahan ajar di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.
Beberapa tahun terakhir, LSM telah mulai melirik pemberlakuan kode etik dan akreditasi/sertifikasi. Aplikasi kode etik atau akreditasi bagi LSM akan ideal jika terbangun secara orisinil dari kalangan LSM sendiri, dan tidak harus bersifat monolitik. Apalagi jika diatur dengan perangkat hukum untuk membungkam LSM, yang selama ini dikenal kritis terhadap pemerintah dan pro aktif mengadvokasi masyarakat terpinggirkan. Tolok ukur yang seragam dan elitis harus dijauhi dan juga tidak mudah dicapai. Beberapa LSM sudah mengembangkan akuntabilitasnya. Upaya yang tengah digiatkan oleh KPMM di Padang dan Sawarung di Bandung, contohnya, sangat penting untuk disokong secara kolektif. Demikian juga, eksprimentasi LP3ES dalam merumuskan formula Kode Etik LSM di tingkat regional dan nasional harus juga didukung.
Sebagai kesimpulan singkat, mari kita bersikap adil terhadap LSM. Jangan memojokkan LSM hanya sebagai kedok untuk menutupi bopeng wajah sendiri atau manifestasi dari vested interest.
[1]Lusi Herlina, “Pengembangan Transparansi dan Akuntabilitas di KPMM, Sumbar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 197
[2]Zaim Saidi, “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 39
[3]Rustam Ibrahim dikutip dalam Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h.62.
[4]Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam: Gagasan dan Pengalaman, dalam buku Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, h. 332-334.
[5] Rustam Ibrahim Dkk. Governance dan Akuntabilitas LSM Indonesia. 2004.
[6] AS.Hikam. Civil Society. LP3ES.
[7] Ibid.
[8]Wawancara Ridwan al-Makassary dengan Andy Agung Prihatna, Peneliti LP3ES, di Jakarta awal Januari 2005. Wawancara ini ketika itu dilakukan untuk kepentingan penelitian riset “Filantropi untuk Keadilan Sosial dalam Masyarakat Islam: Kasus Indonesia” CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[9] Richard Holloway, Menuju Kemandirian Keuangan, Jakarta: Yayasan Obor, 2001
[10] Richard Holloway, Menuju Kemandirian Keuangan, Jakarta: Yayasan Obor, 2001, h. 17-18.
[11]Lihat, buku Sumbangan Sosial Perusahaan (penyunting Zaim Saidi dkk), Jakarta: PIRAC, 2003, h 23-24..
[12]Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 66.
[13]Ridwan al-Makassary, “Pengarusutamaan Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial di Indonesia: Proyek yang Belum Selesai” dalam Jurnal Galang, vol 1, No.3, April 2006, h. 38-49. Lihat juga buku-buku Filantropi yang diterbitkan oleh CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan PIRAC. Keduanya beberapa tahun terakhir menggalakkan studi Filantropi untuk Keadilan Sosial (Philanthropy for Social Justice).
[14]Adi Chandra Utama, “Menyambung yang Terputus (Model Bagi Optimalisasi Potensi Kedermawanan Menuju Keadilan Sosial” dalam Jurnal Galang, vol 1, No.3, April 2006, h.5-21.
[15]Kastorius Sinaga, “Melembagakan Transparansi dan Kontrol LSM di Indonesia” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 85
[16]Zaim Saidi, “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 39
[17]Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 62.
Sumber: Interseksi