BerandaArtikelHIV-AIDS dan Diskriminasi

HIV-AIDS dan Diskriminasi

world_aids_day__1448954332_103.248.35.4

Pertemuan Tingkat Tinggi Negara-negara untuk mengakhiri HIV-AIDS pada 2030 dimulai dengan mengecualikan 22 kelompok gay maupun transgender untuk terlibat. Pengecualian ini berawal dari adanya keberatan negara-negara OKI terhadap kehadiran kelompok tersebut. Pengecualian kelompok tersebut mendapatkan banyak kritik dari berbagai pihak, dan bagaimana negara-negara barat termasuk para aktivis sosial menunjukan kekecewaannya. Bahwa pengecualian ini adalah sebuah sikap yang melukai hak asasi manusia. Apalagi mereka yang dikecualikan adalah mereka yang rentan terhadap isu HIV/AIDS.

Pada Deklarasi Politik sebagai hasil dari pertemuan ini, menyebutkan tentang key population sebagai kelompok rentan terkena HIV/AIDS termasuk gay dan transgender. Akan tetapi tidak ada pandangan dari kelompok HIV/AIDS dimana mereka tidak diberikan hak untuk berpartisipasi dalam pembahasan ini. Sehingga menurut pandangan dari kelompok ini, deklarasi politik hanyalah slogan dan jawaban sederhana negara-negara untuk mengakhiri AIDS pada 2030.

Meskipun hasil deklarasi menuai kritik, akan tetapi bagi Michel Sidibe (direktur eksekutif UNAIDS) menyebutkan bahwa melihat kompleksitas isu, beliau merasa hasil deklarasi adalah sesuatu yang perlu dibanggakan.

“Menurut saya, segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas sangat kompleks. Hal yang tabu? Norma? Posisi mereka dalam masyarakat? Banyak sekali faktor yang terkati, budaya maupun ekonomi. Itulah mengapa pembicaraan mengenai AIDS sangat kompleks. Tidak mudah untuk setuju dengan deklarasi politik ketika berbicara tentang HIV/AIDS. Ada perbedaan masyarakat dan perbedaan pendapat” ungkap Sidibe

Ketika negara-negara setuju untuk mengakhiri AIDS pada 2030, tetapi masih adanya stigma negatif terhadap key population yang berujung pada terjadinya diskriminasi, lalu bagaimana kata-kata dalam deklarasi akan berubah menjadi suatu tindakan nyata. Prinsip anti diskriminasi, penghomatan terhadap hak asasi manusia, maupun partisipasi merupakan etika dasar dari organisasi untuk selalu mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam berbagai tindakannya. Ketika hal-hal tersebut tidak menjadi pertimbangan, akankah ada tindakan nyata untuk mengakhiri AIDS pada 2030 dapat terjadi?

Ketika negara terhambat oleh ideologi dan kepentingan nasional, ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi organisasi-organisasi untuk memastikan dan mengawal komitmen negara dalam mengakhiri epidemik HIV/AIDS terutama terhadap para key population. Tidak dengan mengecualikan mereka tetapi dengan mengajak dan menolong mereka.

 

High Level Meeting – UN General Assembly to end AIDS by 2030 begans with the ‘dramatical action’ to exclude 22 groups of gay and transgender to involve. The exclusion of them start when the OIC countries express their objection and write a letter to the UN. The exclusion towards them made the General Assembly get criticized by some west countries also the civil society, they are express deeply concerned to what happened. The exclusion also is the act that harm the human righs, what was worse that those who are excluded is the most vulnerable towards the HIV/AIDS issues.

In the Political Declaration as the result of the assembly, mentioned about the key population (most vulnerable groups get HIV/AIDS) which included gay and transgender groups. However, by exclude them since the first, the political declaration didn’t satisfied enough. They didn’t get their rights to participate, and just received the results. That is why, from the gay and transgender groups, the political declaration only member states slogan and simple answer to end AIDS epidemic by 2030.

Even there are the critics to the Political Declaration, but for Michel Sidebe, executive director of UNAIDS, recognized the complexity of the issue but added that he felt the declaration was something to be proud of.

“I think anything linked to sexuality is very complex. Is it about taboo? Is it about norms? Is it about the position of people in the society? It’s about so many factors, cultural factors, economic factors. That’s why AIDS is so complex. It’s not easy to deal with a political declaration when you’re talking about HIV/AIDS. You’re confronting different societies, different opinions,” Sidibe said

When the member states agreed to end the epidemic by 2030, but there are still a negative stigma on the society particularly to the key population. There are no doubts that this stigma will leads to discrimination. Without including all the stakeholder –key population- the job will never finish. There are only the bold words in the declaration which not matched to bold commitments to action. The principle of anti-discrimination, respect to human rights, and participation is the code of ethics of the organization should uphold in their variety of activity. When the organization didn’t care about those principles anymore, did the bold words will came into action?

The member state is hard to take the real step because of the ideology, it is our job as the organizations to ensure and guard the bold words up to the commitments of each member states. The member step has to take an action to end the HIV/AIDS epidemic, particularly to the key population. Not by exclude them but engage them, and help them.

Baca Lainnya

Anggota Kami

Yayasan BITRA Indonesia (Bina Keterampilan Pedesaan)

Jl. Bahagia by Pass, No. 11/35, Medan, Sudirejo 1, 20218

Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

Jl. Pangkalan Jati No. 71 Cinere Depok

Artikel Terkait

Selesaikan Sengketa secara Bijak dan Adil

Pernyataan Sikap Konsil LSM IndonesiaPerkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) adalah salah satu lembaga swadaya...

Dana Abadi OMS dan Krisis Pendanaan

Organisasi Masyarakat Sipil-OMS atau Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM memiliki sejarah panjang dan menjadi salah satu...

Peran LSM dalam mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak

Kabupaten/kota Layak Anak adalah Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian...

Akuntabilitas adalah Bentuk Pertanggungjawaban

Ketika LSM memiliki manajemen staf yang profesional, dimana staf direkrut dengan kualifikasi tertentu, ada...